Delapan🐋

44 8 0
                                    

"Lo anggep gue apasih? Temen? Kok perhatian lo kaya lebih dari temen"

.

.

.

"Pak, ngga biasanya hujan kan?" ucap Biru dengan menatap jalanan yang terguyur air hujan. Banyak pengendara motor yang menggunakan mantel, hingga membuat Biru sedikit merasa kasian terhadap pengendara motor.

Pak Bejo mengangguk. "Iya nih neng. Pagi-pagi... udah hujan" jawab Pak Bejo.

"Di mobil ada payung ngga pak?" tanya Biru. Pak Bejo sedikit mengerutkan dahinya, ia seperti mengingat-ingat sesuatu.

"Hm... kayanya ada sih Neng" Biru mengangguk-anggukkan kepalanya.

Hingga mobil yang dikendarai Pak Bejo sudah sampai di depan sekolah Biru. Hujan masih turun, dan sangat deras.

Pak Bejo keluar mobil untuk mencari payung. Tapi, ia baru mengingat jika payung yang ada di mobil ketinggalan di rumah, karena pernah dibawa belanja bulanan bersama nyonyanya.

Pak Bejo kembali masuk mobil. "Gimana pak? Payungnya ngga ada ya?" tanya Biru. Biru terseyum manis, ia melihat wajah Pak Bejo yang merasa bersalah. "Ngga papa kok pak, kelas Biru lumayan deket dari sini kok!" Biru tersenyum manis. Ia meraih telapak tangan Pak Bejo, ia mencium punggung tangan milik Pak Bejo.

Pak Bejo tersenyum kecil. "Maafin Pak Bejo Neng"

Biru menggeleng menyalahkan perkataan Pak Bejo sebelumnya. "Ngga kok Pak, ini bukan salah Pak Bejo kok! Lagian udah Biru bilang kan? Kalau kelas Biru itu ngga jauh"

Pak Bejo mengangguk.

Biru membuka pintu mobil, ia melihat rintikkan hujan yang sangat deras. Ia menoleh kea rah Pak Bejo. "Pak, Biru berangkat dulu. Doain Biru ya Pak! Biar nih otak Biru berkembang!" canda Biru dengan menunjuk kepalanya dengan tangannya. Pak Bejo tersenyum.

Biru kembali menatap hujan. Tatapannya, beralih ke lorong sekolah. Segera Biru berlari meninggalkan mobilnya. Dalam berlari, Biru cukup lincah. Bukan hanya kakinya yang lincah, tapi mulutnya juga. Mulut Biru tanpa berhenti berkomat-kamit mengucapkan kalimat 'jangan jatuh' saat ia berlari.

Biru merasa lega saat ia sudah berada di lorong utama sekolah. Ia merasakan bajunya yang sedikit basah akibat hujan. Biru menatap gerbang sekolah, ia masih melihat mobilnya. Ia yakin, Pak Bejo masih melihatnya dari kejauhan. Senyum Biru mengembang, ia melambaikan tangannya dan menunjukkan jari jempolnya.

Biru melanjutkan larinya untuk menuju ke kelasnya. Alibinya mengungkapkan jika kelasnya dekat itu hanya untuk menenangkan Pak Bejo. Kelasnya lumayan jauh dari lorong utama sekolah. Biru melewati koridor yang sedikit ramai, dan kotor akibat jejak sepatu basah yang menempel di lantai itu.

Biru memeluk tubuhnya sendiri akibat kedinginan. Saat ia berjalan membelok untuk ke koridor kelas 11, ia berpapasan dengan Gibran dan Disty keduanya tersenyum lebar.

Deg...

Gibran berhenti tersenyum. Biru pun menatap Gibran lekat. Tatapan keduanya seolah berhenti.

'Kok, rasanya aneh ya? lihat Gibran dengan Disty?'

"Ehm..." deheman Disty menyadarkan keduanya. "Eh Biru kan ya?" ucap Disty menyapa Biru.

Biru menatap Disty. "Tau nama gue dari mana?" tanya Biru dengan senyumnya.

"Dari Gibran lah! Oh ya Bir, kenapa lo berangkat sendiri? Dan... kenapa lo ngga bawa payung? Lo tahu ini hujan deres banget loh"

Just a Friend [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang