Kegaiban Cinta

128 24 0
                                    

Aku sangat iba melihat irene. Hamil muda membuatnya sangat menderita. Berat badannya merosot, selera makannya hilang. Yang paling membuat hati miris, suaminya suho sangat jarang berada di sisinya untuk menguatkan istri yang menderita itu. Suho bahkan baru resmi dipindahkan ke Semarang kemarin, setelah sebelumnya bolak balik Bandung - Semarang untuk mengurus kantor cabang yang baru dibuka disana. Bahkan, sempat tugas ke Makassar. Itu sebabnya, mama dan papa meminta irene meninggalkan Bandung dan tinggal sementara di Cipanas. Mereka khawatir karena si sulung sedang hamil muda dan suaminya sering bepergian. Ternyata, suho malah dipindahkan ke kota lain. Jadilah keluarga muda itu mengalami dilema.

Mama berusaha keras memasakkan berbagai makanan kegemaran irene, tapi tak banyak menolong. Irene hanya mampu menelan dua sampai tiga sendok nasi, lalu mendorong piringnya dan menyerah. Susu khusus perempuan hamil pun nyaris selalu dimuntahkan. Alasannya, susunya tidak enak.

"mbak, ingin makan sesuatu?" tanyaku berulang kali. Aku selalu ingin membantunya melewati saat saat ini

"tidak" irene menggeleng sambil membetulkan posisi bantalnya. Wajahnya terlihat kuyu dan agak pucat. Dia menempati kamar lamanya yang di dominasi warna pink. Untung saja, setiap kamar di rumah ini selalu dilengkapi kamar mandi. Jadi, memudahkan irene bila mulai terserang mual

"aku bikinkan susu ya?"

Kembali gelengan yang kudapat. Sebelumnya kemarin, kondisinya tak terlalu buruk. Dia masih bisa mengurus "perjodohanku" dengan chanyeol. Masih bisa mengejek mino. Oh, andai bisa, aku lebih ingin dia menjelek jelekkan mino sesuka hatinya ketimbang terbaring tak berdaya begini

"mbak nyaris belum makan. Apa tidak sebaiknya kita ke dokter saja? Minta vitamin, barangkali" ucapku lagi

"masih seminggu lagi jadwal ke dokternya. Dan, dokter sudah memberi beberapa macam vitamin"

"diminum tidak?"

"diminum"

Aku memijat kakinya perlahan. Hari ini tidak banyak pesanan brownies yang harus kutangani. Aku sudah menyiapkan adonan dan para pegawai tinggal menunggu hingga matang. Setelah itu siap untuk dikirim. Mama menolak untuk membuat brownies dengan aneka cita rasa. Beliau bersikeras hanya membuat yang klasik. Topping nya pun cuma irisan almond

"mama tidak mau menghancurkan sejarah. Menambah bahan yang tak perlu, berarti mengubah cita rasa aslinya. Dan itu lebih mirip pengkhianatan" begitu selalu alasannya, seolah olah beliaulah pencipta brownies

"mbak mau cokelat hangat?"

Kali ini, irene tergiur juga dengan tawaranku

"baiklah. Coba satu gelas sedang saja"

Aku nyaris terbang saat menuju dapur dan mulai mencampur gula dan coklat. Tanganku hampir tersiram air panas saat aku menekan tombol dispenser. Aku berdoa berkali kali semoga minuman ini tidak dimuntahkan

"mbak, minum pelan pelan ya..."

Irene bangkit dari posisi berbaringnya dengan susah payah. Matanya setengah terpejam. Setelah menemukan posisi yang nyaman, dia mulai meminum cokelat hangat itu sedikit demi sedikit. Aku hampir menangis terharu melihat gelasnya akhirnya kosong dan irene tidak menunjukkan tanda tanda akan muntah

"kalau tidak bisa minum susu, minun cokelat saja. Biar ada tenaga"

Kakakku itu mengangguk pelan

"mbak memikirkan kepindahan mas suho ya?" tebakku. Wajah irene makin kusut sejak menerima telepon Suaminya kemarin.

"kentara sekali ya?" senyum pahit diulasnya

"ya"

Irene memandang langit langit dengan tatapan tak berdaya. Aku belum menikah, tapi aku bisa merasakan kebutuhannya akan pendamping sang suami dalam saat saat begini. Saat yang berat untuknya

meragu (remake novel) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang