Jalinan Tanpa Kata

142 32 6
                                    

Pintunya terbuka. Aku mengucapkan salam setelah mencocokkan nomor rumah sesuai alamat yang diberikan chanyeol lewat pesan. Aku sempat dilanda keraguan, tepatkah apa yang sedang kulakukan ini. Tapi hanya sejenak, sehingga langkahku tak sempat benar benar mengendur

Salamku langsung dijawab beberapa detik kemudian. Aku bisa mendengar suara langkah mendekat setengah berlari. Chanyeol

"kamu sudah datang...."

Mungkin aku salah mendengar, tapi tadi sempat kutangkap nada lega pada suaranya. Hmm... Memang telingaku sudah tidak beres. Untuk alasan apa dia merasa lega? Tidak ada kan?

"kamu ingin berdiri semalaman di situ? Masuklah!" chanyeol menarik tanganku dengan tak sabar. Mendadak hatiku terasa melompat. Tubuhku terasa menjadi es dan kaku, sementara tangannya mengalirkan hawa panas. Kuberanikan diri meliriknya dengan isi dada yang jungkir balik. Sikapnya biasa saja, seolah pegangannya pada jemariku tidak berpengaruh sama sekali. Tidak berarti.

"lepaskan tanganku!" aku menarik tanganku dengan sekuat tenaga, sekaligus berupaya menetralisir debar aneh yang tiba tiba menjalari seluru tubuhku. Ada apa denganku? Perang dimulai.

"astaga, kamu hanya perlu memintanya baik baik, tidak usah histeris begitu!" kecamnya

"aku tidak histeris!" seruku

"terserah apa katamu. Aku sudah belajar untuk tidak menanggapi emosimu yang naik turun. Kurasa, kamu butuh seorang psikolog atau mengikuti anger management" sarannya sambil lalu

"anger management? Ya Tuhan, aku mendapat saran mengerikan dari orang yang emosinya jauh lebih labil. Kamu yang sangat membutuhkannya, bukan aku!" debatku tak terima

"ssst, kecilkan suaramu!" chanyeol meletakkan telunjuk kanannya di depan bibir. Wajahnya serius. "orang bisa mengira ada yang saling bunuh disini kalau mendengar suaramu" desahnya

Aku meletakkan kotak yang kubawa keatas meja. Meja itu berada di depan sofa yang menghadap ke sebuah telivisi.

"kamu yang mulai!" kataku judes. "kamu memang berpengaruh buruk untukku. Aku jadi pemarah sejak kenal dirimu. Mana naeun? Aku mau bertemu dia dan bukan bertengkar denganmu"

Chanyeol seperti diingatkan akan sesuatu. Wajahnya berubah, suaranya kian rendah saat bicara

"naeun selalu bereaksi bila mendengar suara keras, semisal pertengkaran. Aku dan mantan istriku dulu sering ribut di depan naeun. Jadi, jangan bertengkar di depan anakku" suaranya penuh permohonan walau aku yakin dia tidak bermaksud demikian. "dia bisa ketakutan"

Aku belum sempat menjawab saat sebuah pintu terbuka. Pintu kamar. Ada naeun, memakai baju tidur bergambar minnie mouse. Sempat termangu sejenak, lalu berlari ke arahku dengan senyum di bibir. Otomatis aku berlutut untuk menyambutnya. Di kejauhan aku melihat seorang perempuan dalam seragam putih. Memyiratkan posisinya sebagai pengasuh.

Tubuhku terasa membeku saat merasakan tangan mungil itu memeluk leherku dengan akrab. Napasnya terasa hangat menerpa telingaku. Aku mendadak dipenuhi keharuan yang asing.

"naeun sudah mau bobo?" tanyaku. Bocah itu menatapku dengan mata abu abunya dan menggelengkan kepala

"dia tidak mau makan karena menunggumu" ayahnya memberi penjelsan sambil membelai rambut naeun. "jam delapan atau setengah sembilan biasanya dia masuk ke kamar tidur"

Aku tak tahu harus berkata apa. Selama ini tidak pernah ada anak kecil yang menyukaiku. Aku pun tidak punya pengalaman berdekatan dengan anak anak. William, keponakan seulgi bahkan selalu menangis setiap kali ada dalam gendonganku. Aku bahkan pernah berpikir untuk tidak akan memiliki anak karena sepertinya cukup merepotkan. Aku tidak akan menjadi ibu yang hebat. Lalu tiba tiba saja aku mengenal malaikat cantik ini. Hatiku tersentuh dan melembut pada proses aneh yang tak bisa kujelaskan

meragu (remake novel) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang