Sebelum Pertemuan Kedua

118 27 3
                                    

"kamu dimana?"

"di rumah"

"cepatlah datang! Naeun sudah tidak sabar ingin bertemu denganmu!"

Nada memerintah di suara itu membuat kepalaku terasa panas. Dia selalu membuatku bisa dikendalikan, dan tentu saja dengan memanfaatkan naeun

"pekerjaanku banyak, bos! Kalau kamu tidak meneleponku setiap lima menit, aku pasti akan lebih cepat selesai" gerutuku

"baiklah. Kamu ingin dijemput?"

"ini pertanyaan yang kesepuluh. Aku kan sudah jawab, tidak usah. Aku bisa kesana sendiri. Aku tidak akan tersasar"

"bukan kesepuluh, tapi kedua belas" ralat chanyeol. Entah sengaja ingin membuatku marah atau memang dia menghitung setiap pertanyaan berulang yang dilontarkan kepada orang lain

"kalau kamu tidak menutup teleponmu sekarang, aku tidak akan datang!" ancamku

"kamu ingin memerasku?"

"tutup atau tidak?" aku bersikeras

"dasar singa betina" jawabnya, lalu terdengar suara klik. Suara telepon pun terputus tiba tiba. Kenapa dia bisa seenaknya begitu, mengaturku lalu membuatku marah

Yeri yang sedang bersiap siap untuk kencannya dengan mark dan baru masuk kedalam kamar untuk meminjam anting memandangku heran

"jadi, benar kalian akan bertemu lagi?"

"bukan dengan chanyeol, tapi naeun"

"sama saja!" bantah yeri dengan tangan bergerak di udara. "chanyeol dan naeun itu satu paket. Bertemu naeun berarti bertemu papanya juga. Siapa sih, yang mau mbak bodohi?"

"aku hanya tidak tega. Naeun ingin bertemu denganku. Membayangkan dia menolak bicara sejak orang tuanya berpisah, sudah membuat hatiku nyeri. Tidak ada salahnya aku bertemu naeun kan? Pahalanya besar" ujarku melantur

"mbak yakin cuma ingin bertemu naeun? Bagaimana dengan sumpah untuk tidak mau bertemu chanyeol lagi?" yeri mengerjapkan matanya penuh curiga. Kata katanya membuatku kesal. Aku melotot sebagai reaksi. Yeri malah tertawa. Seulgi dan irene pernah mengatakan hal senada. Apakah aku memang terlalu naif? Namun, buru buru kulerai hatiku yang mendadak menyuarakan perasaan aneh.

"aku memang sangat tolol, selalu bisa diperalat orang orang sekelilingku, sehingga terpaksa melanggar sumpahku" sindirku tajam. Wajah mino langsung melintas. Dan, aku berjuang melawan rasa melilit di dalam perutku.

Yeri tampaknya bertekad pura pura tidak mendengar kata kataku dan nadanya yang sengit.

"mino bagaimana? Dia benar benar akan pindah? Kenapa kalian tidak menikah dulu atau bertunangan, mbak?"

Mendengar nama mino disebut, bahuku mendadak melorot.

"ya, dia akan pindah ke Batam. Sudah, aku tidak mau membicarakan apa pun tentang dia"

Yeri memandang curiga begitu mendengar nada getir di suaraku. Aku memang masih menutupi status hubunganku dengan mino. Cuma seulgi yang kuberi tahu. "kalian bertengkar? Tumben"

Aku tidak berusaha meralat pendapatnya. Kubiarkan yeri menganggap aku membenarkan kata katanya

"tadinya aku ingin besok saja bertemu naeun. Tapi, kamu tahu sendiri bagaimana ngototnya laki laki menyebalkan bernama chanyeol itu" gerutuku

"benarkah?" tanya yeri sederhana. Tapi, aku sampai memalingkan wajah ke arahnya karena menangkap nada aneh pada pertanyaannya itu. Ekspresinya membuatku ingin mencekik yeri

"apanya?"

"benarkag dia orangnya ngotot? Seberapa ngotot? Aku tidak tahu karena baru sekalu bertemu dengannya" yeri kini yang jelas jelas menyindirku, dengan nada sangat halus tentunya

"kamu harusnya bisa menebak dari jawabanku pada teleponnya tadi" celetusku sebal. "kamu jangan terlalu banyak berprasangka. Tidak ada hal hal baik yang terjadi di antara kami"

Yeri akhirnya dengan bijaksana memilih mengulum senyum . Meski aku masih jengkel, tapi setidaknya dia tidak mengucapkan kalimat yang bisa membuatku benar benar menghajarnya

"jangan pakai baju itu!" cegahnya saat melihatku mengambil blus berkerah sabrina warna hijau muda

"kenapa? Ini baju favoritku!" bantahku

"tapi, mbak sudah memakainya waktu kita ke rumah chanyeol!" jelasnya

"apa salahnya kalau aku memakainya lagi?" tukasku tak mengerti

"dia bisa mengira mbak tidak punya baju" kata adikku sambil mengembalikan blusku ke tempatnya

"aku tak peduli dengan pendapatnya" aku mengambil kembali blus itu dengan keras kepala

Yeri memandangku kesal

"mengapa aku harus berdandan untuk orang menyebalkan seperti dia? Aku cuma ingin bertemu anaknya!"

Ada kilat asing di mata yeri.

"aku tidak menyuruh mbak berdandan kok! Cukup dengan mengganti baju saja" kilahnya enteng

"yeri, perlukah kita ribut gara gara baju ini?"

"perlu. Aku tidak akan mundur selangkah pun. Blus ungu itu lebih cantik untuk mbak"

"berhentilah mengaturku! Kamu kira aku tidak bisa memilih pakaianku sendiri?"

"kalau memang bisa, tolong jangan pakai blus sabrina kegemaranmu itu!" yeri tak mau menyerah. "blus itu sudah sangat belel. Lebih cocok dijadikan baju tidur"

"aku lebih tahu apa yang pantas untukku" pungkasku akhirnya dengan nada lelah

"percayalah mbak, kami yang lebih mengerti apa yang terbaik untuk mbak" balas yeri yakin "ayo, cepatlah berdandan! Aku dan mark akan mengantar mbak" gumamnya lagi

Masih dengan semangat ingin membangkang, akhirnta aku malah memakai terusan berwarna merah pucat dengan panjang di bawah lutut. Ada aksen sedikit kerut di bagian dada dan tali pinggang warna senada. Ternyata aku tampak lebih segar dalam pelukan warna merah

"ini jauh lebih cantik ketimbang hanya memakai blus dan celana jeans idola mbak itu" yeri memuji sekaligus meledekku. Aku hanya tersenyum masam

"mbak, apa tidak takut kalau mark akan mengadu ke mino?" yeri melontarkan komentar iseng

"apa?"

Yeri salah memaknai kata tanyaku

"mark dan aku akan tutup mulut" yeri tergelak lagi. "mbak cemas ya?"

"mark, pacarmu belakangan ini begitu menjengkelkan. Mungkin otaknya tercemar virus berbahaya" laporku pada mark yang ironisnya justru mengelus kepala yeri dengan penuh cinta

Tiba tiba saja, aku bisa merasakan udara penuh cinta di dalan mobil, membuatku susah bernapas. Mengapa baru sekarang aku memperhatikan betapa yeri dan mark tampak begitu saling memuja dan.... Melengkapi? Apakah selama ini hal itu luput dari perhatianku, ataukah aku mulai menafsirkan arti "cinta" dalam makna yang berbeda?

"nanti mau dijemput?" tanya yeri sebelum aku turun dari mobil mark.

"belum tahu. Begini saja, aku akan telepon nanti" putusku sambil menyambar tas dan sebuah kotak

"hati hati mbak" yeri melambai

"kalian juga. Terima kasih mark"

Aku keluar dari mobil dan mengambil napas panjang. Mendadak jantungku menjadi sangat berisik, seakan sedang berjumpalitan tak terkendali. Ya Tuhan, apa yang terjadi padaku?

meragu (remake novel) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang