[VI] A Ear-Piercing Facts

921 103 30
                                    

[ 아 · 이 · 린 ]
|
|

Seminggu berlalu dan semenjak hari dimana Irene secara tidak langsung menolak lamaran Suho, lelaki itu sama sekali belum menemuinya.

Irene mengerti atas kekecewaan dan kesedihan yang mungkin Suho rasakan begitu kata - kata berbalut isakan Irene mengancurkan percaya diri Suho. Maka dari itu Irene membiarkan jarak yang Suho berikan dengan juga tak berusaha menjangkau kembali lelaki itu.

Seketika percakapannya dengan Wendy di pagi cerah beberapa hari silam terngiang di telinganya.

"Aku memimpikan kak Joohyun."

Wendy jelas - jelas melihat tubuh Irene menegang diikuti ekspresi berubah serius walaupun hanya berlangsung tidak sampai 2 detik dan kembali makan seperti tidak terjadi apa - apa. Lantas ketika Irene tertawa hambar tanpa emosi sama sekali, Wendy tahu bahwa Irene sudah memahami kalimatnya barusan.

"Hahaha, apa kau merin..—"

"Kau menangis di depan kak Suho. Aku tidak tahu persisnya tapi fakta bahwa kau menangis sungguh menyakitiku kak."

Tipikal Irene biasanya. Menghadapi hal - hal semacam ini dengan tenang walaupun di dalamnya terdapat badai kegelisahan nan tengah menggoyahkan tiang keteguhannya. Meletakkan sendok dan garpu di sisi piring berisi nasi serta sup, Irene menoleh menatap Wendy seraya menyunggingkan senyum teduh nan bisa menenangkan hati siapapun yang melihatnya.

"Tenanglah. Aku akan baik - baik saja, hmm?"

Dengan menanamkan kilas balik itu di pikirannya, Irene mulai menyadari kekuatan Wendy semakin akurat seiring waktu berjalan. Dan bodohnya Irene mengabaikan segala penglihatan itu hanya karena merasa dirinya lebih baik.

Tapi mungkin Irene tidak sepenuhnya salah ketika mengatakan dia akan baik - baik saja karena tidak lama setelah memori itu berputar di kepalanya, seseorang masuk tanpa mengetuk pintu. Berhenti disana menatap Irene dengan senyum sayu dan kantung mata terlihat sangat tebal.

"Maaf, aku baru datang sekarang."

Irene bangkit berjalan menuju orang itu tanpa berniat menatapnya sedikitpun dan malah menggaruk tengkuknya canggung.

"Suho, aku..—"

"Aku mengerti, Rene. Dan aku berterimakasih karena kau sudah jujur padaku."

"Kau tidak marah?"

Suho mendekat memberikan jarak satu langkah antara dirinya dengan Irene sampai perempuan itu bahkan bisa mencium bau fabric softener dari hoodie abu - abu yang Suho pakai.

"Aku sedih. Tapi aku tidak bisa marah padamu, kau ingat?"

"Peluk aku."

Irene membuka lengannya. Inilah yang Ia sungguh butuhkan saat ini. Sebuah pelukan hangat yang sudah satu pekan Ia rindukan. Bergerak mendekat lantas melingkarkan lengan berototnya di sekitar bahu mungil Irene, Suho lantas mengusap surai hitam mengkilap, menyandarkan pipinya dikepala Irene.

"Aku merindukanmu, Ho. Aku kira telah kehilanganmu sehabis malam itu."

Tanpa Irene sadari senyum Suho menghilang digantikan ekspresi terluka.

"Aku tidak akan pernah pergi, Rene."

• 아 · 이 · 린 •

Irene meremas kertas dalam genggamannya sampai menimbulkan sobekan kecil bagian sudut. Mengangkat kepalanya hanya untuk menatap tajam sekretaris utama di hadapannya, Irene seakan menekan Bogum memberikan penjelasan sedetail - detailnya.

Red Velvet Fraternity 5 : IRENE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang