05

39 10 3
                                    

"Morning, pretty!" sapa Jimin penuh semangat dengan mengerlingkan setengah matanya pada Queen yang baru saja keluar dari kamarnya. Tidak berniat membalas sapaan tersebut sama semangatnya, Queen hanya mengangguk kemudian duduk pada salah satu kursi meja makan.

Mungkin seharusnya Queen mengklaim dirinya sebagai pemilik sifat apatis, jelas menyadari jika dirinya selalu mengabaikan orang-orang di sekitarnya. Memilah apa yang dianggap penting dan jika tidak, dia memilih mengabaikan. Alasan mengapa Queen hanya memiliki teman-teman tertentu, namun jelas jika gadis itu tidak akan salah memilih pertemanan. Beberapa temannya adalah golongan konglomerat, jaksa, pengacara, wartawan dan sisanya adalah orang-orang berpengaruh.

Karna Queen sama sekali tidak ingin terjerat dalam sebuah lingkup pertemanan yang akan merugikan dirinya di masa sekarang dan masa depan. Queen mungkin jarang terlihat berinteraksi dengan mereka, tapi setidaknya koneksi mereka masih bagus.

Pagi ini masih sama dengan empat hari lalu, saat kali pertama Queen mengizinkan lelaki itu menetap di dalam apartemennya. Harus Queen akui, dia sama sekali tidak merepotkan, justru Queen terbantu dengan eksistensi lelaki itu yang kerap kali membersihkan apartemen. Keduanya berbagi tugas, kadang kala Queen memasak dan pada suatu waktu dirinya yang membersihkan sekeliling. Semuanya berjalan kelewat normal dan gadis itu tidak menemukan gerak-gerik aneh darinya.

Semenjak Queen mengatakan jika keduanya bisa berteman—lelaki itu berubah. Perubahan yang memberi dampak positif. Perkataan Queen malam itu berubah menjadi sebuah pintu masuk dimana ia mengizinkan Jimin mengenal lebih jauh mengenai kehidupannya. Karna hal tersebut, bertukar kabar keseharian berubah menjadi sesuatu yang kelewat biasa. Memulai perbincangan seakan keduanya telah saling mengenal. Membuat suasa berubah menjadi tenteram dan menyenangkan kala lelaki itu berubah menjadi sosok yang teramat perhatian.

Nyatanya Queen tidak terganggu apalagi merasa keberatan, tapi ia lebih menikmati kala keduanya beradu argumen. Perspektif keduanya akan dunia berbeda, bagaimana cara menyikapi dan kesimpulan yang masing-masing miliki akan kehidupan di muka bumi benar-benar tolak belakang. Queen menikmati kala menerima hal baru yang berbeda dengan pemikirannya, dari sederhana seperti itu ia bisa membuka sudut pandang baru dan tentu informasi baru.

Sabrina Queensy sepertinya tidak lagi keberatan jika lelaki itu akan menetap di dalam apartemennya lebih lama.

Queen merentangkan tangannya ke udara, menghirup napas dalam-dalam sebelum mengeluarkannya perlahan. "Aku masih mengantuk." Queen mengerjap beberapa kali, intensitas cahaya yang matahari berikan mengganggu penglihatannya.

"Apa tidak ada kelas hari ini?" Jimin bertanya sedemikian lembut, intonasinya jelas terdengar ramah.

"Ada, nanti sore."

Jimin mengangguk mengerti kemudian berjalan mendekat ke arah Queen dengan kedua tangannya yang membawa susu dan sereal. Menyadari jika lelaki itu lupa membawa mangkuk, Queen bangkit dari duduknya kemudian mengatakan, "Biar aku saja."

Suaranya masih terdengar parau. Jimin suka.

Memperhatikan gadis itu yang perlahan berjinjit untuk mengambil dua mangkuk yang ada pada kabin atas. Terkekeh pelan karena melihat gadis itu kesulitan hanya untuk menggapai sesuatu yang teramat mudah ia lakukan. Secara tak sadar ia perlahan menopang dagu, sepenuhnya memfokuskan pandangan pada Queen.

Perasaan dan suasana tenang seperti ini adalah salah satu dari jutaan hal yang ia rindukan kala menjadi penduduk lokal. Tidak perlu mengkhawatirkan tentang seisi dunia, tidak perlu khawatir apakah akan ada seseorang yang mengikutinya diam-diam. Dia merasa nyaman selama di sini, meskipun masih dihantui dengan perasaan bersalah dan kegelisahan yang membuatnya kesusahan tidur.

HELLO MY IDOLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang