13

14 0 0
                                    

"Tiga hari lagi pergantian tahun."

"Bagus, aku semakin tua." Queen mengangguk samar, jemarinya membalik halaman buku yang ia baca. Jika buku-buku itu adalah manusia, Jimin pasti sudah menjadi manusia pertama yang akan kelewat cemburu karna Queen selalu dengan bukunya. Seolah kala membaca buku, dia mendapat segalanya.

Akhir-akhir ini Jimin merasa lega sebab akhirnya ia menceritakan secara detail sebuah kejadian yang selama ini menjadi beban dalam setiap langkahnya, menjadi penghambat dalam setiap napasnya. Perasaan bersalah yang rasanya tidak akan bisa hilang meskipun berlalu puluhan tahun. Perasaan mengerikan dimana ia harus merasa sesak setiap kali melakukan pekerjaannya.

Ada perasaan lega meskipun ketakutan yang ia rasakan tidak sepenuhnya pergi, namun ia belajar sesuatu sejauh ini—menerima apa yang telah terjadi dan melakukan apa yang membuat rasa sakitnya berkurang. Nyatanya melakukan kedua hal tersebut adalah salah satu bentuk pertentangan lain yang ada di dalam siklus kehidupan Jimin. Ia ingin kembali bersama para rekannya, namun di saat bersamaan ia tidak ingin meninggalkan Queen.

Sebab sekarang Queen mendapatkan tempat baru di dalam kehidupan Jimin dan ia tidak ingin kehilangan gadis itu. Dan buruknya, Jimin tidak bisa memilih salah satu di antara mereka.

"Kau tidak melakukan apapun untuk merayakannya?" Jimin menyandarkan kepalanya pada bahu Queen, menoleh ke arah lembar buku tersebut kemudian turut membacanya.

Queen tetap diam seolah Jimin sama sekali tidak mengganggunya. "Tidak juga, tapi biasanya aku dipaksa menghadiri sebuah pesta."

"Bersama seseorang bernama Christine itu? Dia hari ini sudah meneleponmu empat kali." Queen cukup terkejut dengan pertanyaan lelaki itu, maksudnya—apa pedulinya? Toh langitnya tidak akan hancur ketika Queen bersama dengan Christine. Harus Queen akui jika perlahan lelaki itu berubah menjadi peduli dalam urusannya dengan Christine. Dia berubah aneh.

"Tahun lalu seperti itu, tidak tahu kali ini."

"Apa harus?"

Queen terkekeh setelahnya. "Ada apa denganmu?"

"Tidak tahu," jawabnya singkat. Penasaran apakah Queen ini berubah mati rasa padahal seharusnya ia bisa mabuk dalam pesona Park Jimin seharian tapi yang ia lakukan hanya memandangi rentetan tulisan yang ada di dalam buku.

Hanya ada siaran televisi yang menampilkan betapa paniknya seluruh penggemar BTS yang mengkhawatirkan kondisi Jimin. Penataan jadwal ulang dan di batalkannya beberapa konser kemudian disusul kenyataan apabila popularitas boy group tersebut turun. Mendengar berita tersebut yang menyinggung terlalu jauh, Queen buru-buru mengganti saluran televisi.

"Ada apa?" tanya Jimin tanpa mengubah posisinya.

Queen terdiam lama, menutup bukunya setelah melipat ujung kertasnya. "Bagaimana perasaanmu? Sudah bisa berdamai atau malah semakin buruk?"

Alih-alih menjawab pertanyaan Jimin, Queen justru mengutarakan pertanyaan lain. Sejak dulu Queen selalu ingin menanyakan pertanyaan sejenis itu, namun tidak bisa—lidahnya berubah kelu dan akhirnya, hari ini dia berhasil melawan hal tersebut. Jimin tidak mengubah posisinya, mengambil napas panjang baru menjelaskan, "Aku sudah lebih baik. Tapi aku mengkhawatirkan beberapa hal."

"Apa itu?"

"Aku mengkhawatirkan diriku ketika ada di posisi ini dalam waktu yang lama, aku tidak ingin kembali—takut. Penyesalan itu selalu datang dan aku tidak bisa menahannya. Aku masih ingin bersamamu, apa tidak bisa aku membawamu ke Korea?"

Queen mengerti kekhawatiran Jimin, dia mengerti apa yang Jimin rasakan dan apa yang ia coba lalui. Namun pertanyaan pada akhir perkataannya membuat Queen tertawa, teramat lucu bahkan hanya untuk di dengar. Jimin berubah konyol akhir-akhir ini. Konyol dan tolol. "Kalau begitu, tetaplah di sini. Sampai semuanya membaik."

HELLO MY IDOLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang