Chapter 5. Good Morning, Frey!

811 131 18
                                    

Biasanya, orang pertama yang menyapamu di pagi hari, akan menjadi orang terakhir yang akan kau lihat di sebelum tidur.

✾ ✾ ✾

"Kamu terlalu berani, Mars. Mbak yang udah ikut dia empat tahun aja masih suka ngeri sama aura kelamnya," ujar Susi sambil menata makan malam.

"Buktinya gue nggak jadi dipecat, Mbak. Dia nggak berkutik, hahaha." Mars membayangkan wajah Freya yang membeku tiap kali dia mendekatinya. Lucu, menggemaskan.

Susi menghela nafas. "Jangan sampai dia tau, aku ini Mbakmu, ya. Bisa-bisa pekerjaanku juga terancam nanti di sana. Meskipun dia galak, tapi soal gaji dan bonus dia itu baiknya kelewatan."

"Nanti juga jinak di tangan gue, Mbak. Tenang aja," kekeh Mars kembali.

"Hmm, lihat Bu, anak Ibu ini sangat percaya diri, jatuhnya kepedean. Dia yakin banget bisa dapetin Ibu Freya, malu aku sebagai Kakaknya." Susi mengomel.

Sang Ibu yang sejak tadi sibuk di balik mesin jahit, menoleh dan tertawa pelan. "Biarkan aja, Sus. Biarkan dia mimpi setinggi langit, nanti kalau jatuh juga pasti sakit sendiri. Ujung-ujungnya merengek sama Ibu."

Tawa Susi pun pecah.

"Mbak sama Ibu tuh selalu aja matahin semangat Mars. Tapi walaupun begitu, Mars tetap akan maju demi cinta."

Susi mendengkus. "Bocah ingusan kok ngomongin cinta, inget kalau kamu itu bukan levelnya Bu Freya! Antara kamu sama dia itu bagai langit dan bumi."

Mars tidak perduli. "Salah dia sendiri bikin penasaran, gue kan paling nggak suka ditantang."

"Bu, ayo makan," ajak Susi. "Nyesel mbak izinin kamu magang di sana, kalau tau ujung-ujungnya kamu akan bikin pekerjaan Mbak terancam," keluhnya.

"Mbak itu harusnya bersyukur, dengan gue ada di sana, bisa aja nanti mbak dipromosikan naik jabatan, jadi Manajer misalnya."

Susi mendengkus.

Utari duduk, tersenyum geli pada Susi dan Mars. "Kalian ini terkadang akur, terkadang bikin sakit kepala."

"Kemarin harusnya Almarhum Bapak nggak kasih nama dia kebagusan Bu, biar otaknya nggak berkhayal ketinggian," ejek Susi.

"Lah mending gue, namanya bagus. Lah, Mbak? Susi Susanti, ngikutin nama siapa, Bu?" Mars menoleh pada Ibunya dengan mulut berisi penuh.

"Pemain bulu tangkis," jawab Utari.

"Nah itu."

"Emangnya kenapa, Susi Susanti juga bagus, kok."

"Sudah-sudah, kalian mau makan atau berdebat soal nama? Sudah besar tapi kelakuan masih saja seperti anak-anak." Utari geleng-geleng kepala.

Mars dan Susi pun diam, melanjutkan makan.

"Tapi Mars, kamu jangan sampai mimpi terlalu tinggi. Mbakmu benar, level kita dan Boss kamu itu berbeda jauh. Sadar diri itu penting agar kamu nggak terluka di kemudian hari, mengerti?"

Kalau Utari yang bicara, Mars tidak bisa membantah. Dia pun mengangguk.

"Tuh dengerin!" Susi menjulurkan lidahnya.

"Inget ya, Mbak harus mau cuciin baju gue selama setahun kalau berhasil ajak Freya makan di sini," tantang Mars.

"Jangankan cuma baju, kamar kamu pun akan Mbak beresin setiap hari," sahut Susi begitu yakin.

"Ibu denger ya, kalau Mbak Susi ingkar saksinya Ibu."

Utari tertawa pelan, ada kalanya dia sangat suka keributan kecil di sela makan malam seperti ini.

✾ ✾ ✾

Freya turun dari mobilnya dan melihat Mars berdiri dengan senyum manis menyapanya. "Kenapa lagi? Lupa bawa ID Card lagi?" tanyanya malas.

Mars menggeleng. "Sengaja nungguin, biar nggak ada yang lebih dulu nyapa kamu sebelum aku." Mars lalu membungkuk, "selamat pagi Ibu Freya."

Freya memutar matanya dan melangkah melangkah tanpa membalas sapaan itu.

"Good morning, Frey! Kamu cantik hari ini," seru Mars dengan suara lantang.

Freya mengutuk kakinya yang selalu saja berhenti setiap kali Mars memanggilnya dengan cara seperti itu. Semua karyawan yang ada di sana menatap mereka penasaran, pasti setelah ini akan ada berita yang tidak sedap yang dibawa terbang oleh angin.

Mars mendekati Freya dan berhenti di depan wanita itu. "Kita punya dua hubungan, pertama sebagai atasan dan bawahan. Kedua, sebagai sepasang manusia yang sebentar lagi akan jatuh cinta."

Freya tertegun sejenak, meresapi kata-kata Mars itu.

Mars tiba-tiba menarik pinggang Freya hingga tubuh mereka menempel. Dia tidak bermaksud kurang ajar, hanya saja menyelamatkan Freya dari tabrakan trolly berisi penuh kardus. Si pendorong Trolly itu nampaknya tidak melihat kalau ada Freya, lantaran tertutupi tingginya tumpukan kardus itu.

Jantung Freya berdetak tidak karuan. Telapak tangan Mars terasa hangat di Pinggang belakangnya. Wajahnya terbenam di ceruk leher pria itu, tercium aroma harum yang sangat maskulin.

"Hampir aja," ujar Mars begitu Trolly tadi lewat. Dia menunduk menatap Freya, "nggak kena, kan?" tanyanya.

"Ahhh." Freya meringis saat menyadari kakinya terasa perih.

"Kenapa?" Mars memberikan jarak pada tubuh mereka untuk bisa melihat Freya dengan seksama.

Freya masih meringis, menoleh ke belakang untuk melihat sumber perih yang terasa makin menyakiti setiap kali diembus angin.

Mars langsung membalik tubuh Freya, dia terkejut melihat bagian atas tumit Freya yang luka dan kulitnya sampai terkelupas. Pasti terkena gesekan Trolly tadi. "Sial!" Darahnya mendidih hanya karena melihat luka sedikit itu saja. Dia berniat mengejar pendorong Trolly tadi untuk diberi pelajaran.

"Kamu mau ngapain?" tanya Freya sambil menarik pergelangan tangan Mars.

"Minta pertanggung jawaban," sahut Mars.

Freya bisa melihat wajah kelam Mars saat ini. Hatinya terasa hangat, hanya karena perhatian Mars hingga sekecil ini. Buru-buru Freya menggelengkan kepala, apa yang kau lihat, Frey? "Udah, nggak papa kok, dia juga nggak sengaja."

Mars menghela nafas kesal. Ditariknya tangan Freya begitu saja, di depan bangak pasang mata yang menyaksikan.

Anehnya bagi Freya, dia malah diam saja dan menurut. Dia berjalan pincang karena pergelangan kakinya terasa nyeri setiap kali bergesekan dengan tali heels.

Melihat Freya kesulitan berjalan, Mars berhenti. Dia menoleh ke bawah, lalu menggeleng kesal. Mars berjongkok, mengangkat kaki Freya, membuat wanita itu berpegangan pada pundaknya. Dilepasnya heels Freya satu persatu.

"Terus aku jalan pakek apa?" tanya Freya saat Mars menenteng heels-nya itu.

"Aku cuma lepas sepatu kamu, bukan kaki kamu. Masih bisa jalan, dong?"

Freya bungkam dengan wajah kesal. Mars bodoh atau bagaimana, masa iya seorang CEO perusahaan mode disuruh jalan tanpa alas kaki?

Yang benar saja!

✾ ✾ ✾

I'm the BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang