Prolog

254 14 2
                                    

Biarkanlah hari-hari berbuat semaunya, berlapang dadalah kala takdir menimpa.
-Imam Syafi'i-

***

"Umi, adek nggak suka umi sama abi nutup-nutupin sesuatu dari adek kayak gini mi, bi. Kalau ada sesuatu tolong beritahu adek mi, ya walaupun adek masih kecil dan ilmu yang adek punya belum banyak, tapi setidaknya jika ini menyangkut tentang adek, insyaallah adek akan berusaha untuk menerimanya mi, bi." ucap Aisyah kepada umi dan abinya yang kelihatan sedang bingung. Aisyah yakin ini pasti menyangkut tentang sekolahnya.

"Jadi gini dek...." Nissa menggantung kalimatnya dan menarik nafas tanda ia mau mulai berbicara.

"Umi sama Abi pengennya adek lanjut sekolah di Pesantren As Syam di Bandung dek. Disana sekolahnya bagus. Pemilik sekaligus kepala sekolah disana adalah teman baik abi" Nissa menjelaskan. Tebakan Aisyah benar. Ia hanya membiarkan uminya berbicara dan mendengarkan segala yang dikatakan Nissa tanpa ada bantahan sedikit pun.

"Sekolahnya adem dek, masih asri karna pesantren itu berada di tengah tengah persawahan. Itu yang bikin umi selalu kangen untuk pergi kesana" Nissa seperti mengenang suatu memori indah.

"Umi pernah kesana?" Aisyah bertanya.

"Iya dek. Dulu sebelum umi nikah sama abi kamu, umi salah satu pengajar disana. Sistem pengajaran disana sangat berbeda. Tegas tapi tidak memaksa. Disiplin namun menyenangkan. Di situ murid akan diajarkan bagaimana nilai nilai kehidupan. Karna itulah umi mau kamu belajar disana dek" ucap Nissa.  Sedangkan Marwan, abinya hanya menatap Aisyah dengan penuh harap.

"Tapi kalau adek kesana adek bakalan jarang dong ketemu sama umi dan abi?" mata Aisyah kini mulai berkaca kaca.

"Nggak apa apa sayang, kita masih bisa telfonan. Kita juga bisa ketemu waktu adek libur kan?" sekarang Marwan yang angkat bicara untuk membujuk putri bungsunya itu.

"Tapi apa abi yakin adek bakalan baik baik aja disana bi?? Adek nggak bisa banyangin gimana adek disana jika nggak nggak ada umi, bi. Gimana kalau adek sakit?" Sekarang bulir air yang dari tadi sudah tertahan langsung mengalir keluar begitu saja. Aisyah awalnya sudah yakin bahwa ia akan menerima permintaan kedua orang tua nya untuk bersekolah di pesantren. Namun keraguan melanda hati. Ia ingat bahwa ia akan meninggalkan kedua orang yang paling disayanginya itu.

"Dek, dengerin abi. Kalau adek nggak gitu, kapan adek akan beranjak dewasa jika semua masalah adek serahin ke umi atau abi. Kapan adek mau belajar mengendalikan diri dan menyelesaikan masalah adek sendiri?" Marwan memandang putrinya yang sedang menangis lalu memeluknya.

"Abi tau ini pasti berat buat adek, tapi ini buat adek juga kan. Abi pengen ngeliat putri cantik abi ini beranjak dewasa dalam lingkungan keagamaan. Abi takut jika disini, adek bakal terpengaruh sama pergaulan yang nggak baik. Adek mau kan nerima permintaan abi sama umi buat belajar disana?" Aisyah yang menangis di dalam pelukan orang yang dicintainya itu pun mulai tenang. Nissa hanya diam. Ternyata Nissa juga sedang menangis karena ia tidak bisa melihat Aisyah menangis. Nissa selalu tidak suka jika putrinya menangis atau sedang sakit. Hal itu membuatnya merasa sesak sehingga bulir bulir kecil air mata mulai berjatuhan tanpa komando dari sang pemiliknya.

"Jika adek mau, apa abi bakalan sering ngehubungin adek??" tanya Aisyah di sela sela isakan tangisnya.

"Pasti lah dek. Umi sama abi juga bakalan kangen sama kamu. Nggak mungkin umi melewatkan waktu untuk bisa bicara dengan putri umi yang cantik ini" Nissa mengelus puncak kepala Aisyah yang tertutup kerudung.

Kesabaran Cinta PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang