:: 9

144 42 0
                                    

"Rasa sakit itu mayoritas berasal dari orang-orang yang kita sayangi"
~Avin~

"Setiap orang pasti punya potensi untuk menyakiti orang lain. Bahkan orang baik sekalipun"
~Evan~

...The Twins...

Mata Avin melihat kearah pojok ruangan secara spontan. Itu adalah tempat dimana seharusnya cowok itu menemukan gitar kesayangannya namun,  tempat itu sudah kosong.

"Kemana, Pa?" tanya Avin cemas.

Hernawan diam tapi penglihatannya mengarah keluar melewati jendela. Tanpa pikir panjang Avin berlari kecil menuju ventilasi yang berukuran 1m persegi itu, dia melihat jauh ke bawah. Menatap benda yang bersinar karena pantulan cahaya lampu dari rumah, patah!

Seketika, setetes air asin jatuh dari salah satu sudut mata Avin. Ada sesuatu yang membuat dadanya sakit. Bahkan lebih sakit dari 9 tahun yang lalu.

Gitarnya sudah tidak berbentuk dibawah sana, hancur bersama satu-satunya kenangan paling berharga dihidup Avin.

Rasanya Avin ingin menghilang saat itu juga. Menjauhi segala bentuk rasa sakit yang menghujam ulu hatinya, tpi ia tak bisa.

Sambil mengusap air matanya, Avin memutar tubuhnya dengan cepat, berteriak! "PAPA NGGAK ADIL!"

"Kenapa harus milik Avin Pa? Kenapa harus gitar Avin yang papa hancurin? Gitar itu nggak punya salah apa-apa ke Papa, tapi kenapa?" Avin menggepal tangannya geram, nafasnya nampak kacau, dan wajahnya terlihat memerah karena menahan emosi, suaranya semakin lirih.

"JADI KAMU LEBIH MENYAYANGI GITAR TIDAK BERGUNA ITU?" tanya Hernawan dengan nada membentak. "KAMU ITU CUMA PUNYA 2 PILIHAN DIRUMAH INI, MENJADI SEPERTI EVAN DAN TETAP MENJADI BAGIAN KELUARGA KAMI, ATAU TETAP PADA SIKAP BURUK KAMU?" sambungnya sembari menunjuk wajah Avin.

Avin mendekati Hernawan, mata tajamnya melirik kearah Airin yang masih menunduk. Lalu detik berikutnya beralih pada pria didepannya.

"Kalau Avin milih pilihan kedua, apa yang bakal Papa lakuin ke Avin?"

"Papa mau nyuruh Avin tidur di luar lagi? Papa mau pukul tangan Avin sampai hancur seperti yang udah papa lakuin sembilan tahun yang lalu?" tanya Avin penuh penekanan, berharap bahwa pria itu akan menggeleng dan mengatakan bahwa ia tak akan melakukannya.

Pria itu membalas tatapan Avin, rahangnya mengeras, dan dadanya terlihat naik turun.

"Sini kamu!"

Hernawan menarik tangan Avin dengan kasar. menyeret Avin menuruni tangga dan membawanya ke gudang belakang. Avin berusaha keras melepas cengkeraman papanya yang kelewat erat, tapi itu hanya membuang tenaga.

"Mau kamu bawa kemana mas?" tanya Airin, menghentikan langkah suaminya.

"Gudang," jawab Hernawan singkat.

Mata Avin terbelalak, memandang wajah Hernawan dengan tidak percaya. Seharusnya Avin tidak mengingatkannya tentang kejadian itu, ia harusnya tahu kalau orang yang dia panggil Papa tidak mungkin melakukan sesuatu seperti yang ia harapkan.

"Avin nggak mau pa, Avin nggak mau" rengek Avin,  mencoba menyingkirkan cekalan tangan Hernawan.

Jangan berharap Avin! Dia tidak akan melepaskanmu.

Avin cemas, berkali-kali Avin meminta tolong Airin, tapi wanita itu malah menggeleng, Airin hanya diam menatap Avin dari tangga atas.

"Van!" panggil Avin dengan nada memohon, tapi Evan malah membuang muka.

Saudaranya itu seakan-akan jijik dengan wajah Avin. Avin tersenyum kecut, seburuk itukah ia? Sampai orang-orang yang paling Avin percaya bahkan tak mau bersimpati sedikitpun terhadap dirinya.

Avin menggigit bibirnya, mengumpat, "Pengecut!" 

Siapa yang tahu bahwa malam itu adalah malam penuh jeritan dari kediaman keluarga Hernawan. Tangis Avin pecah ketika rotan berkali-kali di pukulkan ke kedua tangannya.

Dan tampaknya, Airin juga tidak terganggu. Tapi Evan sedang frustasi di dalam kamar, rasa bersalah, takut kehilangan, dan kegelisahan semakin menghantui lelaki itu.

Tentusaja Avin tidak tahu apa yang sedang Evan alami, yang ia tahu adalah jari-jari tangannya sudah di penuhi dengan darah.

Hernawan menggenggam tangan Avin yang terluka dengan Erat. Menariknya keluar rumah.

"JANGAN HARAP MALAM INI KAMU BISA MASUK RUMAH, TIDUR DILUAR!" bentak Hernawan seraya mendorong tubuh Avin keluar. Pria itu membanting pintu lalu menguncinya dari dalam.

Avin terdiam, sesekali terdengar geratan yang ditimbulkan oleh giginya. Anak lelaki itu terduduk didepan pintu, menarik ujung rambutnya dengan kesal, tanpa peduli bagaimana darah menotori rambut wanginya.

Sekali lagi, air mata meluncur tanpa kendali. Bagaimana Avin tidak menangis jika diperlakukan seperti itu? Bagaimana ia bisa tetap tegar jika hatinya dihancurkan berkali-kali, ya! Padahal luka sembilan tahun lalu sama sekali belum pulih, tapi harus terluka lagi dengan hal yang sama.

Avin mendekap lututnya seraya memperhatikan langit yang nampak gelap. Tidak ada bintang ataupun bulan, hanya kegelapan, persis seperti hidupnya.

Avin bergidik ketika angin perlahan menyapu seluruh tubuhnya. Tetes demi tetes air turun dari awan, persis seperti dulu.

"Lagi? " tanyanya yang entah ditujukan pada siapa.

Tubuh ramping itu berdiri, melangkah menerobos hujan yang semakin deras. Kedua tangannya yang terluka ia masukkan ke saku celana agar tidak terasa pedih terkena air hujan.

Avin bukan tipe laki-laki yang akan membiarkan tubuhnya hancur begitu saja seperti kebanyakan yang ada di sinetron. Ketika tubuhnya terluka, dengan waras Avin akan mengobati lukanya bukan mengabaikan dan bersikap seolah ia adalah orang yang paling menderita.

Jadi, setelah sekian lama ia berjalan di tengah hujan, cowok itu berhenti di sebuah klinik, meminta pengobatan untuk lukanya.

Avin tidak punya uang sama sekali, jadi untuk beberapa jam ia membantu petugas Klinim melakukan beberapa pekerjaan.

Ia juga meminjam pakaian medis barang sebentar, sembari menunggu pakaian miliknya mengering.

Malam itu Avin tidak pulang Ke Rumah, ia tidur di salah satu ruang rawat di Klinik tersebut. Setidaknya perlakuan tenaga medis padanya lebih baik daripada perlakuan keluarganya sendiri.

"Tangannya kenapa mas?" tanya seorang suster yang sedang mengobati luka Avin.

"Terlindas mobil Sus!" canda Avin.

Suster itu menggeleng sambil tersenyum, "Masnya bohong."

Avin terkekeh, "Jari telunjuk tangan kanan saya patah ya Sus?"

Suster itu mengangguk, setelah selesai mengobati luka Avin ia mengatakan bahwa dokter akan segera memeriksa jarinya."

Avin mengerutkan alisnya, bertanya, "Harga perawatan saya berapa ya Sus, kira-kira?"

"Mungkin sekitar dua ratus ribu,"

"Bisa ngutang?"

"Gak bisa mas, harus kes!" jawab Suster dengan yakin.

"Saya bayar cinta gimana Sus? Dijamin kes!"

Mendengar ucapan Avin, Suster itu menggeleng heran. Berpamitan pada Avin lalu meninggalkan ruangan.

Tinggal Avin sendiri, lagi-lagi sendiri. Avin menghela napas berat. Dibaringkannya tubuhnya ke atas bankar.

Dia sungguh lelah, tidak peduli dengan hati, pikiran atau tubuhnya. Semuanya terasa sangan lelah, atau mungkin ia juga lelah untuk hidup. Heh jangan bercanda, jika Avin lelah dengan hidupnya, sudah dari dulu dia akan pergi ke alam barzah.

Sekalipun suatu hari Avin benar-benar lelah hidup, dia tidak akan pernah melakukan hal bodoh yang membuat napas berharganya berhenti berhembus.
____________
_____

Makasih buat yang sudah baca cerita aku.

Jangan lupa vote dan komen

The Twins (Hiatus) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang