"Seandainya gue jadi baik, apa orang-orang bakal ngerubah sikapnya ke gue?"
~Avin~"Salah nggak sih kalau gue bilang Avin itu menyusahkan?"
~Evan~...The Twins...
"Hah...hah...hah" dengan terengah-engah, Ruby menghampiri Evan yang sedang membaca buku didepan perpustakaan. Ia mengatur nafasnya agar normal lalu berjalan mendekat.
"Evan!" Evan menoleh begitu tangan Ruby mendarat mulus dipundaknya. Kedua sudut bibirnya terangkat.
"Ya," jawab Evan. Perempuan didepannya hanya memutar bora matanya malas.
"Lo tuh dicariin di kantin, malah enak-enakkan duduk disini," Ruby melipat kedua tangannya didepan dada seraya menatap sahabatnya dengan kesal.
"Tumben lo nyariin gue," cowok itu bergeser, menyisakan tempat duduk untuk gadis itu.
"Lah biasanya juga gue nyariin lo, lo nya aja yang nggak pernah mau gue cariin."
Evan terkekeh, menutup bukunya sejenak, kemudian merangkul leher Ruby seperti biasa. Ada 2 hal didunia ini yang selalu membuat Evan terasa hidup, pertama keluarga, dan yang kedua sahabat.
Jika Avin tidak percaya dengan adanya sahabat sejati, maka Evan adalah orang yang sangat meyakini keberadaan mereka. Buktinya, sekarang dirinya punya Ruby yang selalu ada. Meski terkadang Evan merasa cemas dengan perasaannya.
Bagaimanpun juga, persahabatan antara laki-laki dan perempuan adalah hal yang berbeda. Evan takut kalau kelak, salah satu dari mereka akan menaruh harapan yang lebih terhadap satu sama lain. Bagus jika dia yang punya perasaan itu, tapi kalau Ruby ?
Evan menggeleng dalam diam. Sungguh, seandainya hal seperti barusan benar-benar terjadi, Evan takut kalau saja ia tak bisa membalas cintanya. Dan persahabatan antara mereka jadi hancur.
"Hei," Ruby menyenggol pinggang Evan, membuat anak lelaki itu tersadar dari lamunannya.
"Lo kok bengong sih?, keenakan ngerangkul gue ya lo? "
"Lah percaya diri banget lo, siapa juga yang mikirin lo," Evan melepaskan rangkulannya, meletakkan kedua tanggannya dibelakan kepala seraya bersender pada dinding.
Ruby tersenyum jail,"Jadi lo mikirin gue?" tanyanya membuat Evan sedikit terkejut.
"Sembarangan, enggaklah."
Ruby hanya ber oh ria, lalu menatap Evan serius, "Gue pengen nanya sesuatu ke elo," ucap Ruby.
Evan menoleh, telihat jelas bahwa kerutan didahi cowok itu menandakan bahwa ia sedikit penasaran, seolah dirinya sedang bertanya apa?
"Soal Avin"
Sontak Evan memasang ekspresi tidak suka, baik di rumah maupun sekolah, kenapa orang-orang selalu punya hubungan dengan anak itu? Memangnya apa yang penting dari seorang Avin, dia bahkan tidak punya perasaan sedikitpun.
Telinga Evan sudah cukup puas mendengar segala ucapan tentang Avin. Dan jujur itu sangat mengganggunya.
"Hari ini dia nggak masuk tanpa keterangan, lo tau gak dia kemana?"
"Gue nggk tahu, dia emang kaya gitu, suka pergi seenaknya," jawab Evan, meraih bukunya kembali.
Mendengar nama Avin, membuat minat bicaranya hilang seketika. Meski kebenciannya terhadap Avin bukan karna alasan yang kuat. Tapi percaya atau tidak, melihat papa dan mama yang selalu kewalahan menghadapi kembarannya,membuat Evan merasa tidak berguna. Dan itu menyebalkan.
"Dia kan kembaran lo Van, harusnya lo tahu dia kemana," ucap Ruby sedikit memohon kalau-kalau lelaki itu mau memberinya jawaban.
Tapi situ sia-sia karena Evan benar-benar tidak tahu kemana Avin pergi. Cowok itu menarik nafas panjang lalu berdiri, hendak pergi.
"Van."
"Gue nggak tau Ruby, hubungan gue sama dia itu nggak seperti yang ada di fikiran lo, mau lo tanya berapa kalipun soal Avin ke gue. Gue nggak bakal bisa jawab," Evan menelan ludahnya susah payah, nama itu sudah cukup memancing emosinya, "Gue nggak pernah tahu apa yang Avin lakuin, karna gue nggak mau peduli."
Evan merendahkan nada bicaranya pada kalimat terakhir. Ruby mematung, menatap punggung lelaki tersebut hingga menghilang.
Nggak mau peduli, Berulang kali gadis itu memutar kalimat yang sama di otaknya. Tidak peduli? Tidak peduli seperti apa yang dia maksud?
Bukankah sebagai seorang saudara harusnya mereka saling menyayangi satu sama lain? tapi kenapa ini malah sebaliknya? Ruby menghela napasnya dalam-dalam lalu berjalan menuju kelas, demi apapun, ia benar-benar tidak mengerti tentang hubungan dua bersaudara itu.
***
Enggar masih sibuk dengan ponselnya. Anak itu mondar-mandir tidak jelas seraya menempelkan benda tersebut ketelinga. 3 detik kemudian.
The number you have dialed is either inactive or out of reach
"Haiisshh," desisnya ketika suara operator begitu nyaring menjawab panggilannya.
"Diangkat?" tanya Dariel ingin tahu.
"Untung kalo diangkat, berdering aja enggak," jawab Enggar.
Kedua orang itu membuang nafas kasar. Tidak biasanya cowok itu mematikan ponselnya seperti ini, mungkin Enggar, ataupun Dariel memang belum mengenal Avin sepenuhnya. Tapi mereka tahu kalau Avin sangat tidak mungkin mematikan ponselnya tanpa alasan. Dan yang lebih menyedihkan lagi adalah ketika mereka tidak tahu apa alasannya.
Dari ambang pintu, terlihat Ruby dengan wajah malasnya berjalan memasuki kelas. Cewek itu sungguh sedang memikirkan Avin sekarang, tapi jangan salah faham. Sikap Ruby itu hanya sebatas kepeduliannya terhadap teman sekelas tidak lebih.
"Bu seker dari mana?" Enggar melempar sebuah gumpalan kertas kearah gadis itu. Ditangkap dengan baik oleh targetnya.
"Kusut banget wajah lo, habis diiles sama pak Hari?" Dariel menambahkan.
"Banyak nanya, gue abis nyari informasi soal temen lo itu," dikembalikannya kertas yang tadi dilempar Enggar pada pemiliknya, "Gue bingung absensinya mau gue kasih apa, gue alfa aja kali ya?"
Ucapnya seraya mengeluarkan buku jurnal kelas dari kolong meja. Enggar dan Dariel saling pandang, mereka tidak bisa menahan Ruby untuk meng alfa Avin, karna faktanya Avin memang tanpa keterangan sama sekali.
Lagi pula pesan yang Enggar dan Dariel kirimkan pagi tadi, tidak dibaca oleh Avin. Dan jujur saja itu membuat mereka semakin cemas.
"Lo berdua harus nyari Avin sampai ketemu, gue nggak mau kalau besok jurnal ini sampai ada tanda alfa lagi," tutur Ruby menatap tajam Dariel dan Enggar.
Keduanya hanya mengangguk, bukannya tidak berani protes. Mereka hanya malas berurusan dengan gadis rajin seperti Ruby.
"Ya ibu Sekertaris yang baik dan cantiik," ucap mereka bersamaan, membuat Ruby membulatkan matanya.
Sementara Enggar dan Dariel terkekeh pelan.
___________
_____Hallo balik lagi di lapak Author. 😇😇..
Makasih udah bacaPokoknya Author bangga punya readers seperti kalian..
Dariel :"(senyum manis, kayak gula jawa) Riel juga bangga punya pacar kayak Author"
Enggar :(ngambil gayung, nyiram Riel sampe basah)
Author :"kalian waras bisa nggak sih?, dan Dariel kamu bukan pacar Author 😑😑"
Enggar-Dariel :(udah saling gebuk)
Author :"dah lah bye"
......................
Jangan lupa kisar nya. Ok
KAMU SEDANG MEMBACA
The Twins (Hiatus)
Dla nastolatków(Revisi Alur Sebelum Tamat) Hidup hanya untuk dibeda-bedakan dan disalahkan. Memborantak demi mendapat sebuah perhatian, namun malah dihakimi oleh keluarganya. Avin Hernandez, saudara kembar dari seorang bernama Evan Hernandez. Memiliki sifat dan ca...