: : 17

76 24 3
                                    

_The Twins_

...

Avin melirik langit sejenak. Ketika langkah yang agak berat itu memasuki koridor sekolah sebuah suara yang mirip dengannya menusuk telinga.

"Avin!"

Mendengar namanya dipanggil, Avin tidak beraksi selain menutup kedua telinganya seraya terus berjalan. Demi apapun, hal yang paling menyebalkan bagi dirinya adalah bertemu dengan si pengecut Evan.

Melihat Avin tanpa reaksi, Evan tidak bisa membantu tetapi menggeram kesal. Evan, dia sama sekali tidak berharap bahwa orang dungu itu adalah kakak laki-lakinya.

Kedua orang yang sungguh mempunyai pandangan cacat satu sama lain.

"Avin! Lo budeg ha?"

"Gue emang budeg, kalau nggak suka jauh-jauh lo dari hidup gue." Avin mempercepat langkahnya, menurutnya, menghindari Evan adalah hal yang harus dilakukan.

Dengan wajah kesalnya, Evan berlari kecil kemudian menarik tangan Avin kasar. Dihempas dengan mudah oleh target.

"Lo mau gue banting ?" gertak Avin, kedua mata tajamnya tampak memancarkan sebuah kemarahan.

"Ogah, gue cuma mau nanya sesuatu sama lo. Jadi buang wajah datar lo itu kalau lo juga nggak mau gua tonjok."

"Hmm ... " Avin bergumam. Kali ini ia tidak berusaha kabur dari Evan. Meski begitu, Avin tampak masih ogah-ogahan meladeni kembarannya.

Evan hanya tersenyum sinis, dirinya benar-benar sesuatu yang di anggap menjijikkan oleh Avin. Tapi siapa yang peduli? Dibenci Avin bukanlah sesuatu yang begitu berat untuknya.

"Lo pacaran sama Ruby?"

"Bukan urusan lo!" jawabnya Avin singkat. Ia kemudian berhenti dan menatap tajam kearah kembarannya.

"Lo udah selesai sama pertanyaan lo kan? Jadi stop ngikutin gue!"

Dari nada bicara Avin, cowok itu memang tidak suka dengan kehadirannya. Itu membuat Evan tersenyum kecut.

"Gue nanya baik-baik Vin sama...," sebelum Evan melanjutkan kata-katanya, Avin sudah lebih dulu memotong.

"Gue juga udah jawab kalau itu bukan urusan lo kan? Lagian kenapa kalau gue pacaran sama sahabat lo? Cemburu?"

Pertanyaan Avin membuat Evan agak terkejut, suaranya dengan tidak sengaja menarik perhatian siswa dan siswi yang lewat.

Seolah tidak menyadari tatapan sekitar, Avin mendorong tubuh Evan hingga termundur beberapa langkah.

Sekali lagi, kata mengusir keluar dari mulut Avin.

"Pegi dari hidup gue!"

Ucapan itu lirih tapi menekan, membuat Evan yang berdiri tegap seraya menatap punggung kembarannya itu terdiam.

Masa lalu telah merubah Avin, Evan menyadari bahwa itu salahnya, dia yang terlalu pengecut untuk memakui kesalahannya sejak awal, tanpa sadar menyiksa Avin secara perlahan.

Persetan dengan keadaan, Evan mendengus, menatap orang-orang yang ada dikoridor sekilas, lalu melenggang pergi.

...


Sampai di kelas, Avin langsung meletakkan tasnya dan pergi tidur. Ruangan kelas tampak masih sepi, Avin datang lebih awal dari biasanya.

Tapi beberapa menit berlalu dengan cepat dan perlahan orang-orang mulai berdatangan. Ruby barusaja melangkah ke dalam kelas saat tiba-tiba matanya mengerjap takjub.

Mata bundarnya melihat sosok yang sedang menenggelamkan wajahnya diantara lipatan siku, siapa lagi kalau bukan Avin.

Gadis itu menghela napas perlahan, Avin datang pagi-pagi hanya untuk tidur? Itu hal yang wajar.

"Biarain deh dia tidur," gumam Ruby.

Waktu berlalu, jam pelajaran kedua telah usai. Bel istirahat sudah berdering lima menit yang lalu dan Avin masih belum bangun.

Guru-guru juga tidak peduli dengan sikap Avin yang tidur di jam pelajaran, mereka sudah lelah mengurus lelaki yang sama sekali tidak takut akan peraturan sekolah.

Dariel yang sedaritadi mencoba membangunkan sahabatnya itu melempar kulit kacang berkali-kali ke kepala Avin. Tapi cowok itu tetap tidak berkutik.

"Woe Vin!"

Karna geram, Dariel menimpuk kepala Avin dengan pulpen. Terdengar gumaman samar lalu kembali tenang.

"Lo itu tidur apa mati sih Vin?" sahut Enggar dari sisi lain.

Tapi, masih tidak direspon dari Avin. Apa yang tidak diketahui orang lain, di balik terlelapnya Avin adalah, mimpi tentang semua kejadian yang ia alami, kejadian yang merusak tubuh bahkan ulu hatinya.

Kejadian yang selama ini menyiknya bertahun-tahun harus mengusik alam bawah sadarnya.

Dariel mengernyit saat melihat keringat mengalir didahi sahabatnya itu, wajah Avin juga berubah, kedua alisnya bergerak, menaut satu sama lain.

"Hsss," dasis Avin seraya mencengkeram kepalanya.

"VIN BANGUN WOE, BANGUUN," teriak Dariel panik. Seluruh penghuni kelas itu terkejut, tatapan mereka langsung mengarah ke bangku Avin, tak terkecuali Ruby.

"Bangun Vin, buka mata lo bego. Jangan tidur," ucap Enggar tepat di sebelah kuping Avin.

Tak ada respon, sahabatnya itu hanya terus bergumam dalam tidurnya seraya menarik ujung rambut sengan kuat.

Mata Dariel memerah, digoyangkannya tubuh Avin dengan kuat. Tapi itu tidak membuat Avin tenang, malah semakin menjadi.

'mati' adalah satu kata yang terus membayangi Avin, tidak peduli bagaimana kedua sahabatnya ingin membangunkan Avin, tapi cowok itu benar-benar tidak punya niat untuk membuka mata.

Bukannya benar-benar mati, dia hanya ingin meluapkan segala emosinya tanpa melihat wajah orang-orang yang dikenal.

"WOE, PANGGILIN WALI KELAS GOBLOK, JANGAN CUMA BENGONG KAYA ORANG DUNGU," teriak Enggar, emosi karna murid lain hanya menatap dari jauh tanpa membuat pergerakan.

"Vin buka mata lo, buka Vin, bukaaaa," ucap Enggar sekali lagi, mereka benar-benar cemas, karena tidak biasanya Avin bersikap seperti ini ketika tidur.

Dari jauh, nampak Ruby sedari tadi memperhatikan Avin, diam-diam berdiri, ia berjalan mendekat, mengangkat wajah Avin dan ...

Plakkkk!

Satu tamparan mendarat di pipinya dengan mulus, membuat Avin terbangun seketika. Ia menoleh, memperhatikan orang-orang yang berada di sekelilingnya.

Semua orang nampak tegang.

________
_____

Terimakasih sudah membaca

Jangan lupa ya komen yang banyak, dah.

Pencet
👇👇

The Twins (Hiatus) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang