"Semuanya berakhir tanpa sempat ku mulai."
_Ruby."Takdir selalu mempermainkanku."
_Avin...The Twins...
Dr. Andre dengan canggung berdehem dan menyadarkan orang-orang.
Noya dan Avin menoleh bersamaan, keduanya reflek melepaskan genggaman satu sama lain.
Dr. Andre melirik Avin sekilas lalu kemudian beralih pada Noya.
"Noya, kamu bisa ikut saya," ucap pria paruh baya itu sambil tersenyum.
Gadis itu menggigit bawah bibirnya dengan pahit, tanpa melihat Avin ia perlahan mengikuti Dr. Andre.
Avin menatap punggung Noya, ekspresinya tampak rumit ketika mata hitamnya beralih ke sisi dimana Ruby berdiri. .
"Kenapa liatin gue kaya gitu?" tanya Avin.
Ruby menggeleng, "Dia pacar lo?" tanyanya lirih.
"Tadinya sih hampir, tapi ya gitu," jawab Avin tanpa daya, "Lo ngapain disini?"
"Gue antar mama gue kontrol,"
"Oh!"
Tanpa bicara lagi, cowok bermata bundar itu berbalik sembari memasukkan kedua tangan ke saku celana.
Ruby hanya menatap punggung yang setiap saat tampak sepi itu, ini hanya sebentar dia mengenalnya, terlebih lagi mereka sama sekali bukan dua orang yang dekat.
Tapi tiba-tiba keinginan untuk dekat dengan cowok itu menjadi lebih besar.
Ruby menghela napas sebelum akhirnya bergerak ke ruang periksa sang ibu.
Sementara Avin yang berjalan keluar berhenti di teras. Tak ada hari yang baik bagi Avin, dimanapun ia berada rasanya masalah selalu menemukannya setiap saat.
Cowok tinggi itu duduk di teras Rumah Sakit, matanya sesekali melihat kedalam. Dia hanya berharap ketika Noya keluar dari sana, gadis itu akan sehat sepenuhnya, karena Avin sungguh tak ingin kehilangan lagi.
Setelah kejadian beberapa tahun yang lalu, awal yang membuat dirinya berubah menjadi menyedihkan seperti sekarang. Avin masih dengan jelas melihat Evan membunuh, ya! Saudaranya membunuh adik yang paling Avin sayangi.
Dan naasnya Evan dengan kejam menyalahkan dirinya.
Avin mengepalkan tangan dengan sangat erat, kebencian itu lama-lama tumbuh semakin besar. Tapi tanpa ia sadari dalam hatinya yang terdalam rasa peduli seolah berlawanan dengan kebencian itu sendiri.
Tahun itu dia telah kehilangan, dan sekarang mungkin ia juga akan kehilangan.
***
"Dokter, berapa lama waktu saya?" Noya menatap wajah pria di depannya dengan penuh perhatian.
Tuhan pernah memanggilnya sekali, tapi kemudian Tuhan memberinya kesempatan kedua untuk hidup. Sekarang, hal yang paling Noya inginkan adalah menemani Avin, dan bahkan ia ingin mengembalikan keceriaan anak lelaki itu seperti dulu.
Dr. Andre menghela napas dalam-dalam saat mendengar pertanyaan Noya, "Tak ada yang tau umur seseorang Noya, kamu bisa bertahan sampai sekarang saja, bagi saya itu sudah sesuatu yang luar biasa. Tapi saya takut kali ini kamu tak akan bisa bertahan bahkan lebih dari seminggu.
Noya tersenyum pahit, itu sudah cukup baginya untuk menghabiskan waktu dengan Avin.
"Terimakasih dokter, saya akan permisi dulu," gadis berwajah pucat itu membungkuk lalu memutar tubuhnya dan perlahan pergi meninggalkan ruangan Dr. Andre.
Hidupnya dan Avin itu sama, mereka sama-sama punya takdir yang menyedihkan, Noya yang telah kehilangan kedua orang tuanya dan Avin yang diabaikan oleh keluarganya.
Bukan hanya Avin yang lelah, tapi Noya bahkan tak punya semangat hidup sama sekali.
Dan mungkin semua ini adalah akhirnya.
Noya tersenyum ketika melihat punggung Avin yang bersandar di tiang Rumah Sakit, 'dia benar-benar menungguku.' batinnya.
"Avin, mari pulang."
"Ah!" Avin terkejut, ia menoleh dan mendapati Noya sedang berdiri di sampingnya sambil melempar senyum.
"Gue ketiduran ya, hehe."
Noya terkekeh, "Kamu masih nggak berubah ya, suka malu-maluin."
"Yang penting lo gak malu kan jalan sama gue."
Noya menggeleng, tangan gadis itu menarik tangan Avin dan membawanya pergi dari Rumah Sakit.
Waktu berlalu sangat cepat, cakrawala tampak sudah dihiasi oleh warna jingga.
Setelah meninggalkan Rumah Sakit, baik Noya maupun Avin, mereka langsung pulang ke rumah masing-masing.
"Avin pulang," ucap Avin sambil membuka pintu rumah yang tidak dikunci.
Begitu ia masuk, matanya langsung menemukan sosok Evan dan kedua temannya yang sedang belajar di ruang tengah.
"Lo darimana?" tanya Evan.
Avin hanya menjawabnya dengan tatapan tajam, seolah memberitahu Evan kalau itu bukan urusannya.
"Nyokap, Bokap kemana?"
"Keluar!"
"Oh!"
Singkat jelas dan padat. Kedua teman Evan yang mendengar percakapan itu hanya diam-diam menggeleng, Gea menghela napasnya lalu menatap Evan di sebelahnya.
"Kalian saudara kandung kan?" tanyanya.
Evan menoleh, "Iya, kenapa nanya?"
"Enggak, tapi kalian bener-bener kaya bukan saudara. Yah, gimana ya, saudara kembar itu biasanya punya ikatan yang lebih erat daripada saudara-saudara pada umumnya, tapi kalau aku lihat, di antara kalian nggak ada tali persaudaraan sama sekali."
Evan terdiam, memang dia dan Avin tidak tampak seperti saudara, jika wajah mereka tidak mirip, siapa yang tau kalau mereka adalah saudara sedarah?
Tapi bagaimana mungkin orang lain tau bahwa, baik dia maupun Avin itu sebenarnya saling peduli.
Hanya ke egoisan satu sama lain benar-benar menekan rasa peduli itu.
Evan diam-diam mengumpat dalam hatinya, mengapa sulit sekali untuk mengucapkan maaf pada Avin? Mengapa sulit sekali mengakui kesalahan pada kedua orang tuanya.
Dia takut jika suatu hari kebenaran di masa lalu terungkap, Mama dan Papa akan memberikan perlakuan yang sama seperti mereka memperlakukan Avin saat ini.
Dan jujur, Evan sama sekali tidak mau itu terjadi pada dirinya.
Evan menghela napasnya, "Lo gak perlu mikirin hubungan gue sama Avin, kita emang gak pernah akur dari kecil,"
Gea dan Denta mengangguk setuju, memang lebih baik tidak mencampuri urusan orang lain.
***
Fiks makin gak jelas.
Thx ya yg udah mau mampir see you.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Twins (Hiatus)
Teen Fiction(Revisi Alur Sebelum Tamat) Hidup hanya untuk dibeda-bedakan dan disalahkan. Memborantak demi mendapat sebuah perhatian, namun malah dihakimi oleh keluarganya. Avin Hernandez, saudara kembar dari seorang bernama Evan Hernandez. Memiliki sifat dan ca...