Lima

6K 813 68
                                        

Kami bertatapan. Aku dan Jovan.

"Jovan ...."

Kontak mata kami terputus karena Aira menyikut lengan Jovan. Lelaki itu menoleh sembari mendesah. "Ayo bilang!" Aira mengatakan dengan pelan, tetapi itu terdengar seperti memerimtah.

"Maaf," ucap Jovan. Pandangannga masih mengarah pada Aira.

Aira melebarkan kedua bola matanya. Membuat akhirnya Jovan kembali menatapku. "Maaf," Jovan mengulanginya dengan suara pelan. Sedangkan aku, balas menatapnya dengan alis terangkat.

"Jo ...." Aira kembali memperingatkan.

Jovan menghela napas. "Maafkan aku karena sudah mengurung kamu di gudang, Elora!"

Aku berdecak mendengar permintaan maafnya. "Kamu minta maaf atau sedang marah-marah?"

"Aku meminta maaf!" Jovan masih saja tidak mau mengurangi nada bicaranya. "Kalau tidak mau memaafkanku, tidak apa-apa! Aku tidak peduli!"

Aku menggelengkan kepala. Makin lama mengenal Jovan, aku makin bingung. Bagaimana Elora bisa menyukainya? Apa yang disukai Elora pada diri Jovan? Wajah tampan? Karena kalau sikap, jelas Jovan jauh dari kata baik. Dia terlihat arogan dan kadang sedikit kasar.

"Baiklah. Aku memaafkanmu," kataku pada akhirnya. Percuma kalau menunggu Jovan meminta maaf secara baik-baik. "Sudah?" tanyaku pada Aira dan Jovan yang membawaku ke kantin sejak bel istirahat berbunyi. "Aku boleh pergi?"

Aira menyentuh telapak tanganku. "Di sini dulu. Makan bersama kami," tawarnya. "Jovan akan memesankan makanan untuk kita."

Jovan mendelik tidak terima. "Kenapa aku harus ...."

"Kalau begitu ...," aku menatap Jovan sambil tersenyum mengejeknya. "Belikan aku mie ayam dan es jeruk!"

"Apa yang ka---"

"Aku juga mau pesan itu!" Aira segera menimpali sebelum Jovan melayangkan protes.

Jovan bangkit untuk memesankan makanan kami dengan malas-malasan. Dia tidak mungkin akan membantah Aira. Ini cukup menyenangkan. Melihat si tuan tukang marah-marah akhirnya tunduk pada seseorang merupakan suatu bentuk kesenangan sendiri.

"Maafkan dia," ucap Aira ketika Jovan sudah meninggalkan kami. "Sebetulnya dia ingin minta maaf sejak tadi pagi. Tapi, biasalah Jovan. Ada saja alasannya."

Aku mengangguk mengerti. Memang tadi pagi cukup mengejutkan karena Jovan ikut sarapan di rumah kami. Dia bahkan menawarkanku untuk berangkat bersamanya dan Aira. Walau secara teknis Aira yang memintaku. "Dia terlalu sombong untuk meminta maaf."

"Memang itu sifat jelek yang nggak aku sukai dari Jovan," tutur Aira mengaku.

Aku mulai tertarik dengan pernyataan Aira. "Jadi ... apa yang kamu suka dari Jovan?" tanyaku.

Aira tergagap. "A-apa maksudnya? Aku nggak menyukainya!"

Aku berdecak tidak percaya. "Jujur saja,  Aira. Nggak apa-apa kok. Aku dan Jovan kan sudah nggak bertunangan. Aku nggak akan marah jika kamu menyukainya dan akhirnya kalian berpacaran."

Wajah Aira memerah, entah itu karena tersipu atau apa. Anggap saja, wajahnya memerah karena sedang tersipu. "Jovan selalu membantu dan memperlakukanku dengan baik," katanya. "Tapi ... aku nggak yakin sama perasaanku."

"Nggak usah terburu-buru," aku memberi saran. "Masih banyak waktu untuk meyakinkan perasaanmu. Toh, kita masih SMA. Memangnya kamu akan menikah dengannya setelah lulus kalaupun menyukainya?"

"Iya!" Jovan menyahut tiba-tiba. Lelaki itu meletakkan nampan berisikan empat mangkok mi ayam di atas meja. "Kami memang akan segera menikah!"

Aku menggelengkan kepala. Gegabah sekali. "Terserah, sih. Itu keputusan hidupmu sendiri," ucapku mengambil jatah mi ayamku. Mengapa ada empat mangkok?

I Become an ExtraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang