"Bagaimana rasanya, Elora?"
Aku merasakan seseorang mencengkeram rahangku. Penglihatanku mengabur. Wajahnya tidak terlihat jelas. Siapa?
"Sendirian, tanpa siapa pun? Bagaimana rasanya, hah?"
Aku mencoba membuka mulut, mencoba bersuara. Akan tetapi, tenggorokanku terasa sangat kering. Napasku tersengal, tidak beraturan. Entah bagaimana, rasanya begitu berat saat menarik napas.
"Sekarang ... semua milikku."
Kini aku mencoba menggapainya, tetapi tanganku terlalu lemas untuk digerakkan. Mataku mulai terasa berat. Pandanganku makin memburam, hingga perlahan kegelapan menyelimutiku.
"Elora!"
Siapa?
"Elora! Bangun!"
Aku merasa seseorang meraih tubuhku.
Siapa?
Tidak.
Jangan sakiti aku!
"Elora! Aku mohon bertahanlah!"
Mengapa suara itu terdengar begitu menyakitkan? Mengapa aku merasakan sakit yang sama? Siapa?
.
.
."Elora?"
Aku mencoba membuka mata kembali. Kali ini terasa lebih mudah.
"Elora!"
Perlahan kegelapan mulai sirna. Aku mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang memasuki mata. Ketika penglihatanku mulai terbiasa dengan terangnya pencahayaan, aku bisa melihat Papa yang berwajah pucat. Di sebelah Papa berdiri Bibi Rini yang menatapku khawatir.
"Papa?" Tenggorokanku terasa kering dan sakit. Bukan itu saja, aku juga merasa pegal di seluruh tubuh.
Papa menyentuh dahiku dengan lembut. "Demammu tinggi sekali," kata Papa. Dari sorot matanya aku melihat kekhawatiran di sana. "Kamu bahkan sampai mengigau, Elora."
Aku ... mengigau?
Jadi apa yang aku alami tadi, semua hanya mimpi?
Kalau benar itu semua hanya mimpi, mengapa terasa begitu nyata?
Aku masih bisa merasakan cengkeraman kuat di rahangku. Bahkan perihnya kuku yang melukai wajahku masih bisa kubayangkan. Dan dekapan hangat penuh kesedihan itu juga masih bisa kurasakan. Bagaimana mungkin semua itu hanya mimpi?
"Kamu tidak perlu berangkat ke sekolah," kata Papa memutuskan. "Bibi Rini, hubungi dokter segera. Elora harus segera diperiksa."
"Aku baik-baik saja, Papa," ujarku tidak ingin merepotkannya.
"Demam hampir 39 derajat, masih bisa kamu bilang baik-baik saja?" suara Papa meninggi hingga membuatku terkejut. "Kamu sebaiknya menuruti Papa kali ini. Papa tidak mau kamu kenapa-kenapa."
Mendengar perkataannya membuat perasaanku menghangat. Perhatian ini tidak pernah Elora dapatkan di dalam novel. Apakah kamu senang sekarang Elora? Papamu sangat mengkhawatirkanmu.
"Terima kasih, Papa," ucapku sambil menggenggam tangannya. Tangannya begitu besar. Aku merasa terlindungi ketika menggenggamnya. "Terima kasih karena sudah mengkhawatirkanku."
Papa tersentak pada awalnya, walau pada akhirnya dia tersenyum lembut ke arahku. Aku rasa, tubuh Elora tidak membutuhkan perawatan dokter. Perhatian penuh kasih oleh Papanya adalah obat paling mujarab untuknya. Semoga Papa Elora pun menyadari kenyataan ini.
![](https://img.wattpad.com/cover/221887001-288-k663782.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
I Become an Extra
Fiksi RemajaNara mengalami kecelakaan setelah berusaha menolong seorang anak kecil yang hampir tertabrak. Nara beruntung karena dirinya masih selamat dari kecelakaan yang cukup parah. Akan tetapi, sesuatu yang ganjil dirasakan oleh Nara. Ia tidak mengenali diri...