Sepuluh

5.3K 763 48
                                        

Dokter ...
Tebak di mana aku sekarang?
🤭

Aku tersenyum setelah mengirimkan pesan teks itu pada dokter Tristan. Sambil mengembuskan napas, aku mengalihkan pandangan pada bangunan di hadapanku. Rumah sakit tempat dokter Tristan bekerja, sekaligus rumah sakit milik keluarga Ken.

Ngomong-ngomong soal Ken, sebaiknya aku meminta maaf padanya setelah ini karena sedikit berbohong. Ken pasti akan memaksa ikut jika mengetahui bahwa aku pergi ke rumah sakit milik keluarganya hanya untuk bertemu dengan dokter Tristan. Maka dari itu, aku berbohong saat dia hendak mengantarkanku pulang ke rumah.

"Ke rumah Oma?" Ken saat itu mengernyit tidak percaya. "Kenapa tiba-tiba?"

Aku tidak cukup pintar mengarang alasan, jadi aku hanya menjawab, "Karena aku kangen Oma." Tidak hanya Ken, aku juga harus meminta maaf pada Oma karena menjadikannya sebagai alasan.

Beruntungnya aku, karena Ken percaya. Walau sejak tadi aku terus-terusan mengamati lingkungan sekitar. Ken bisa saja tiba-tiba saja muncul seperti waktu itu dan mengganggu pertemuanku dengan dokter Tristan.

Aku mengamati ponsel sekali lagi. Belum ada balasan dari dokter Tristan. Mungkin dia sibuk. Sebaiknya, aku bergegas pergi ke ruangannya dan mengejutkan dokter Tristan akan kedatanganku.

Aroma disinfektan bercampur obat menyambutku begitu memasuki Nusa Buana Hospital. Hidungku mengerut tidak nyaman. Meski sebersih dan senyaman apa pun sebuah rumah sakit, aku selalu mencium aroma obat. Aku kurang menyukainya. Maka dari itu, meski tertarik menjadi dokter sekali pun, profesi itu tidak akan pernah menjadi pilihanku.

Aku berhenti di lobi rumah sakit dan mengedarkan pandangan, mencoba mengingat ruang praktik dokter Tristan sekaligus mencari petunjuk. Aku tidak pernah ke rumah sakit sendirian, jadi cukup sulit untuk mengingat tempat. Apa sebaiknya, aku meminta dokter Tristan untuk menemuiku di lobi.

Ah, itu bukan kejutan yang kuharapkan.

"Elora?"

Seseorang memanggilku. Begitu menoleh, aku mendapati sosok jangkung mengenakan jas dokter mendekat ke arahku dengan kening mengerut. Bukan. Itu bukan dokter Tristan. Wajah oval dokter ini mengingatkanku pada seseorang. Tetapi ... aku lupa siapa.

"Kenapa ke sini sendirian? Kamu sakit?"

Dia mengenalku? Aku mencoba mencari petunjuk. Aku mendapatkannya, name tag yang menggantung di lehernya. Aku memfokuskan penglihatan, mencoba membaca huruf kecil yang tercetak di sana.

Kenan Lazuardi.

Lazuardi?

Namanya seperti nama Ken.

Mataku mengerjap. Aku segera mendongak dan memastikan sekali lagi wajah dokter itu. Pantas aku merasa mengenali wajahnya. Dokter ini mirip dengan Ken, hanya terlihat lebih dewasa saja. Mungkin Ken akan terlihat sepertinya jika dewasa nanti. Yang membedakan keduanya selain tinggi badan dan struktur wajah yang lebih dewasa adalah rambut. Kakak Ken ini memiliki rambut yang kelihatan lebih halus dan sedikit lebih panjang walau tidak bisa disebut gondrong.

"Elora?" Kenan Lazuardi mendekatkan wajahnya ke arahku.

"Oh, halo Kak Kenan," aku menyapa dengan gugup. Akan menjadi masalah jika aku tidak menyapanya.

Kak Kenan tidak segera membalas sapaanku. Dia hanya diam menatapku tanpa ekspresi. Apa yang salah? "Ya, halo," akhirnya dia membalas sapaanku.

"Ah, yah ... kebetulan ketemu Kak Kenan di sini," aku mencoba beramah-tamah. Semoga aku tidak terlihat aneh. Karena Ken hanyalah tokoh sampingan, keluarganya jarang sekali muncul di dalam novel. Malah sepertinya kakaknya ini hanya pernah disebutkan namanya, tanpa ada gambaran khusus seperti apa sosoknya.

I Become an ExtraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang