Tiga Belas

4.6K 680 35
                                    

"Pagi, tuan putri ...."

Setelah absen beberapa hari, akhirnya aku diijinkan berangkat sekolah kembali. Seperti biasa, Ken melakukan rutinitasnya yang sempat terhenti dalam beberapa hari. Menjemputku untuk berangkat sekolah bersamanya.

"Senang melihatmu lagi, Elora," ucap Ken dengan senyuman sehangat biasanya. Aku juga senang dapat melihatnya lagi. Beberapa hari tidak berangkat sekolah bersamanya membuatku sedikit kesepian. Kelihatannya aku benar-benar terbiasa dengan keberadaan Ken di sekelilingku.

"Kita berangkat sekarang?"

Aku mengangguk. Segera aku menghabiskan susu cokelat yang disiapkan Bibi Rini untukku. Baru saja hendak berpamitan dengan Papa, suara Jovan terdengar menyapa Papa dan Aira. "Pagi, Om ... Aira." Dia menatapku. Dia mau menyapaku juga?

Jovan berpaling dengan cepat. Yah, aku juga tidak ingin disapa olehnya. "Kamu terlambat, Jovan," protes Aira dengan wajah cemberut. Ekspresi Jovan melembut. Dia mengusap puncak kepala Aira sambil menggumamkan kata maaf.

"Elora?" Panggilan Ken menarik perhatianku padanya kembali. "Kita berangkat?"

"Uhm ... oke."

"Elora!"

Baru hendak meninggalkan ruang makan, lagi-lagi ada yang menginterupsi. Kali ini Arsen yang datang. Dengan senyum lebar dia berlari ke arahku. Hampir saja Arsen mendekapku kalau saja Ken tidak menahan lengannya.

"Mau apa?" tanya Ken.

"Melakukan sapaan selamat pagi," jawab Arsen sambil melepaskan lengannya dari tangan Ken.

Aku baru tahu kalau mereka tidak cukup akrab. "Kenapa kamu ke sini pagi-pagi, Arsen?" tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan sebelum terjadi pertumpahan darah antara Ken dan Arsen.

Yah, aku sedikit berlebihan.

"Mau mengantarmu ke sekolah," jawab Arsen. "Sudah mau berangkat?"

Aku mengangguk lantas melirik Ken yang terlihat kesal. "Tapi aku mau berangkat dengan Ken."

Senyum Arsen menghilang. Berbanding terbalik dengan ekspresi Ken. Moodnya benar-benar membaik dengan senyumannya yang melebar. "Jadi aku terlambat untuk mengantarmu, ya?"

"Itu ..." aku menggaruk pipiku. "Aku memang sudah biasa berangkat sekolah dengan Ken."

Arsen menatapku kecewa. "Untuk hari ini saja, aku yang mengantarmu ke sekolah, ya?" Arsen memohon. Mata birunya yang berkilauan memikat rasa simpatiku.

Astaga .... Kalau Ken memiliki ekspresi seperti anak kucing minta diberi makan, Arsen terlihat seperti anak anjing yang minta diadopsi.

Mengapa lelaki di novel ini begitu menggemaskan?

"Lho Arsen?"

Oh, ya. Ada yang tidak tampak menggemaskan. Justru terlihat mengeslkan. Jovan sunggu pengecualian yang sempurna.

"Arsen?" Karena Arsen teman Elora, pasti Jovan sudah mengenal Arsen cukup baik seperti Ken dan Darrel.

"Hai, Jovan," Arsen menyapa Jovan cukup ramah. "Lama nggak ketemu."

Jovan tersenyum, tetapi aku tidak merasakan ketulusan pada senyumannya. "Kapan kamu kembali?"

"Belum lama," jawab Arsen. Dia melirik Aira yang berada di sebelah Jovan, sebelum kembali menatap Jovan. "Aku dengar kamu sudah nggak bertunangan dengan Elora, mengapa masih saja ke mari?"

Jovan mengarahkan pandangannya kepadaku. "Aku ke sini bukan untuk menemui Elora, tetapi untuk menemui Aira."

Arsen terkekeh pelan. "Membatalkan pertunangan dengan Elora dan mendekati saudara tirinya," Arsen menoleh pada Papa yang masih menikmati sarapannya. "Jovan benar-benar nggak mau kehilangan status sebagai menantu Om Arya, ya?"

I Become an ExtraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang