Tiga

6.3K 872 85
                                    

"Mereka berjalan bersama?"

"Serius?!"

"Lihat, bahkan Elora membantu membawakan tas Aira."

"Nggak mungkin Elora mau jalan bersisian begitu dengan Aira."

"Gue dengar Elora yang bikin tangan Aira patah. Mungkin ini dia lakukan karena ngerasa bersalah."

"Lo pikir, tuan putri manja macam Elora mau melakukan itu?"

Aku tidak mendengarnya.

Bukan ... bukan ....

Aku menggelengkan kepala. Aku berusaha tidak mendengar apa yang mereka katakan. Terserah sajalah. Kan hampir seluruh warga sekolah tidak menyukai Elora, si tuan putri yang egois dan maunya menang sendiri. Terutama siswa yang merasa pernah dirundung oleh Elora. Mereka tidak akan pernah menyukai Elora. Elora akan selalu salah di mata mereka, meski dia sudah melakukan hal yang baik, seperti membawakan tas milik Aira.

"Kamu benar-benar nggak mau dibantu?" tanyaku setelah kami tiba di depan kelas Aira. "Aku bisa minta izin guru untuk bersama denganmu sementara waktu di kelas."

Aira menggeleng dengan senyum terulas lebar di wajahnya. "Nggak usah, Elora. Aku bisa mengatasinya sendiri."

"Tapi tangan kanan kamu sedang sakit," kataku menunjuk tangannya yang masih digips. "Pasti sulit jika menulis dengan tangan kiri."

"Aku yang akan membantunya." Entah sejak kapan Jovan ada di dekat kami. Dia muncul tiba-tiba.

"Jovan?" Aira sedikit terkejut menyadari keberadaan Jovan. "Sedang apa kamu ...."

"Aku akan membantumu selama pelajaran berlangsung," kata Jovan. Dia mengambil tas Aira yang berada di bahuku.

Baiklah. Baiklah. Tuan budak cinta. Terserah kamu saja.

"Tapi kita beda kelas," kata Aira sambil melirikku. Mungkin Aira takut jika aku akan marah padanya karena mendapat perhatian dari Jovan.

"Aku sudah minta izin dengan guru. Mereka setuju. Jadi, kamu tenang saja," kata Jovan sembari tersenyum lembut. Senyum yang mungkin tidak pernah Jovan berikan pada Elora.

Lagi-lagi dadaku terasa sesak. Sepertinya tubuh Elora selalu merespon semua hal yang berkaitan dengan Jovan. Ini menyebalkan sekali. Aku benar-benar tidak ingin merasa patah hati hanya karena lelaki kasar ini terus menolakku.

"Kami akan membatalkan pertunangan, Aira," aku memberitahu sebelum Aira semakin salah paham. Hubungan kami sudah membaik, aku tidak ingin merusaknya dengan prasangka buruk.

"Batal?" Kedua mata Aira melebar, tak percaya.

Aku mengangguk, menegaskannya kembali. "Jadi, tenang saja. Apa pun yang kamu lakukan dengan Jovan, bukan urusanku lagi." Saatnya untuk menyerahkan Aira pada Jovan. "Aku ke kelas dulu. Jaga Aira, Jovan," pesanku sembari menepuk bahunya.

Jovan memalingkan wajah. "Tanpa kamu suruh, aku akan melakukannya," dia menanggapi dengan ketus.

Aku mendengkus pelan. Lelaki ini tidak berubah. Walau aku sudah tidak menjadi tunangannya pun, Jovan tetap memperlakukanku dengan dingin. Terserahlah. Aku tidak peduli. "Dah, Aira!"

Aira melambaikan tangannya padaku. Aku pun melangkah ringan meninggalkan kelas Aira. Hah, rasanya benar-benar lega setelah melepaskan Jovan. Semoga Elora pun merasakan hal yang sama.

O0O

Aku harus mengulangi belajar di bangku SMA. Aku harus bertemu lagi dengan logaritma, trigonometri, hingga Hukum Newton. Aku kira karena di dunia novel, maka tuntutan belajar rendah. Ternyata sama saja memusingkan. Bagaimana dunia dalam novel bisa sesulit dunia nyata?

I Become an ExtraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang