Tujuh

5.4K 849 92
                                    

Masalah pembatalan pertunangan ternyata tidak semudah yang kubayangkan. Entah apa memang kehidupan orang kaya itu terlalu rumit, atau dunia novel ini yang terlalu rumit. Mungkin sebenarnya penulis novel ini yang jalan pikirannya terlalu rumit.

"Elora!" Oma menghampiriku dengan senyuman lebar.

Hari ini aku mengunjungi kediaman Oma. Pertama dengan alasan ingin menemuinya sebagai cucu yang baik. Kedua karena aku memerlukan bantuan Oma untuk memperlancar masalah pembatalan pertunanganku. Walau Papa adalah pewaris tunggal keluarga Dananjaya, tetap saja kendali penuh atas keluarga ini dikuasai oleh Oma. Aku rasa dengan kuasa penuh dari Oma, pembatalan pertunanganku dan Jovan akan segera terealisasi.

"Kamu sudah lama nggak mengunjungi Oma. Oma kangen," ucap Oma memeluk tubuhku. Rasanya begitu hangat. Elora beruntung memiliki Oma yang begitu menyayanginya.

"Maaf, Oma. Akhir-akhir ini banyak sekali tugas sekolah. Jadi, Elora baru bisa mengunjungi Oma," balasku padanya.

"Nggak masalah," kata Oma menepuk bahuku. "Kamu sudah makan? Kita makan dulu, bagaimana? Biar nanti Oma minta pelayan menyiapkan makanan."

"Nggak usah, Oma," aku menolak dengab halus. "Elora sudah makan tadi. Kita ngobrol sambil minum teh saja, gimana?"

Oma menyetujui usulanku. Dia membawaku ke belakang rumah. Di sana ada taman kecil yang ditanami berbagai jenis bunga beraneka warna. Tempatnya begitu asri dan nyaman. Pasti betah rasanya menghabiskan waktu di sini.

"Gimana sama lukamu, Elora? Masih sakit?" tanya Oma. Kalau dipikir, sejak aku keluar dari rumah sakit, aku memang tidak mengabari Oma mengenai kondisiku.

"Elora sudah sehat kok, Oma," jawabku membuat raut khawatir Oma perlahan memudar. "Kalau Aira, tangannya masih digips."

Oma menghela napas. Raut wajahnya berubah ketika nama Aira disebut. Sebegitu tidak sukanya Oma pada Aira? "Oma nggak peduli dengan anak itu. Mau dia menghilang pun Oma nggak mau tahu."

"Oma," aku menggenggam tangan Oma. "Jangan begitu, biar bagaimana pun Aira cucu Oma. Anak Papa dan juga saudara Elora."

"Tapi dia sudah merampas semua yang kamu miliki, Elora," ucap Oma membelai punggung tanganku. "Oma nggak rela kalau cucu Oma satu-satunya ini menderita karena anak perempuan itu."

Aku menggeleng, tidak menyetujui ucapan Oma. "Dia nggak merebutnya, Oma. Aira memang berhak berada di tempat yang sama dengan Elora. Dia juga anak Papa."

Oma membuang muka, tidak senang atas ucapanku. "Lagi pula, Elora masih punya Oma. Oma yang paling Elora sayang."

Oma akhirnya menoleh dan menatapku dengan kedua mata yang berkaca-kaca. "Oh, Eloraku sayang!" Oma memelukku. "Tentu saja. Anak itu boleh mendapatkan semuanya. Tapi rasa sayang Oma semua hanya untuk Elora."

Aku tersenyum mendengarnya. Memang untuk saat ini satu-satunya yang menyayangi Elora tanpa syarat hanya Oma seorang. "Oiya, Oma. Elora ke sini mau membicarakan sesuatu sama Oma."

Oma menguraikan pelukannya dan menatapku penasaran. Mungkin basa-basiku kurang banyak, tapi ini lebih baik daripada kami membicarakan Aira dan bagaimana Oma membenci Aira. "Emm ... begini mengenai Elora dan Jovan ...."

Kedua bola mata Oma tampak berbinar. "Gimana? Kalian sudah mulai dekat?" tanya Oma begitu bersemangat.

Aku menggeleng. "Elora berniat nggak mengejar Jovan lagi."

Oma tampak terkejut mendengar jawabanku. "Maksudnya?"

"Yah, itu ...." Kenapa membicarakan hal ini jauh lebih sulit dari yang kubayangkan? "Elora ingin membatalkan pertunangan dengan Jovan."

I Become an ExtraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang