Dua

6.6K 880 25
                                    

Angin dingin langsung menembus kulitku ketika tiba di atap rumah sakit. Aku mencoba mengusap kedua lengan, mencoba mengusir dingin, tetapi tidak berhasil. Sambil terus mengikuti seseorang di depanku, aku terus memikirkan maksud dan tujuannya mengajakku ke atas atap. Dari pada itu, bagaimana bisa dia masuk seenaknya ke dalam rumah sakit malam-malam begini? Dunia novel memang berbeda sekali dengan dunia nyata.

Dia berhenti tiba-tiba, membuatku menghentikan langkah. Tubuhnya yang tegap masih membelakangiku. Sosoknya begitu berkilauan diterangi sinar rembulan. Aku tidak pernah bisa membayangkan bagaimana keindahan karakter utama saat digambarkan oleh penulis. Dan sekarang aku melihatnya sendiri, tidak perlu lagi dibayangkan.

"Berhenti mengganggu Aira."

Aku menatap lelaki di hadapanku tanpa minat. Dia adalah seseorang yang paling tidak ingin aku temui saat ini. Tidak, di saat aku masih beradaptasi dengan kondisi yang sangat asing untukku. Aku sedikit menyesal karena sudah mengikutinya hingga ke atap hanya untuk mendengarkan ancamannya.

Lelaki itu, Jovan, berbalik. Dia menatapku begitu dingin. Seketika aku merasakan nyeri di dadaku. Apakah ini respon tubuh Elora setiap Jovan bersikap dingin padanya?

"Aku mencintai Aira."

Aku tahu. Tidak perlu menyampaikannya lagi.

"Aku tidak akan pernah memaafkanmu jika terjadi sesuatu yang buruk pada Aira."

Aku memiringkan kepala. Mengamati raut serius Jovan. Ekspresinya begitu dingin. Tatapan tajamnya seolah sedang mengulitiku. Tampaknya dia bisa saja tega menyakitiku hanya untuk Aira. Aira lah prioritasnya. Bahkan dia tidak akan memikirkan kondisiku sekali pun jika itu menyangkut Aira.

"Aku mengerti," kataku. Aku lelah berhadapan dengannya. Kondisi tubuhku masih lemah, aku masih perlu banyak istirahat. "Aku boleh pergi sekarang, kan?"

"Kamu benar-benar tidak mendengarkan peringatanku!" Dia menarik lenganku dan mencengkeramnya dengan kuat. Jovan mungkin lupa kalau yang dihadapinya saat ini adalah seorang pasien rumah sakit. Bagaimana dia bisa memperlakukan seorang pasien dengan begitu kasar?

Aku memejamkan mata. Aku benar-benar tidak ingin berurusan dengannya. Tapi kalau seperti ini, dia sudah keterlaluan. "Apa perkataanku kurang jelas?" Aku berusaha menepis cengkeramannya, tetapi tenagaku tidak cukup kuat. "Aku mengerti!"

"Apa aku terlihat bodoh di matamu?" cibirnya sinis. "Kamu pikir aku percaya?"

Lalu apa maumu?

Astaga. Mungkin aku tidak akan mati karena kecelakaan, tapi karena stres terus berurusan dengan orang ini. "Kita akhiri saja kalau begitu," balasku.

"Akhiri saja pertunangan ini." Ah, bagaimana bisa aku baru memikirkannya. "Aku tidak akan mengganggu hubunganmu dan Aira. Kamu juga tidak akan menggangguku lagi."

Jovan tidak menanggapiku. Mungkin dia tidak menyangka aku akan membatalkan pertunangan begitu saja. Di dalam novel, Jovan berulang kali meminta Elora membatalkan pertunangan, tetapi Elora tidak pernah mau melakukannya. Elora sangat mencintai Jovan. Dia berusaha melakukan segala cara agar Jovan balas mencintainya juga.

Tapi, aku bukan Elora. Aku tidak mau berakhir seperti Elora. Jadi, bukankah sebaiknya aku memenuhi keinginan Jovan. Hubungan cinta sepihak tidak akan berjalan dengan baik. Aku tidak mau menanggungnya. "Lepaskan!" aku mencoba menyentak tangannya. "Aku mau kembali ke kamar."

Jovan melonggarkan cengkeramnya. Telapak tanganku memerah. Benar-benar lelaki yang kasar. Bagaimana bisa Elora masih mencintai lelaki yang selalu bersikap kasar padanya seperti ini?

Begitu terbebas dari Jovan, aku memutuskan untuk pergi dari sana. Aku tidak kuat lagi dengan udara dingin di atas sini. Akan tetapi, baru saja aku melangkah, Jovan memanggilku. Memanggil nama Elora.

I Become an ExtraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang