Enam

5.5K 852 90
                                    

Satu kata yang mewakili penampilanku pagi ini.

Mengerikan.

Bawah mataku menghitam, akibat kurang tidur semalam. Ini semua karena memikirkan perubahan alur cerita dalam novel. Di dalam novel, Aira tidak pernah tertarik pada Ken. Dia hanya menganggap Ken sebagai sahabat, tidak lebih. Namun, ucapannya kemarin tidak menggambarkan seperti itu. Aira terlihat ... tertarik pada Ken.

Aku bersedekap, mencoba memikirkan perubahan alur ini. Aira tertarik pada Ken. Mungkin nantinya Aira tidak akan menerima cinta Jovan dan membuat mantan tunanganku itu patah hati. Apakah ini juga akan mempengaruhi akhir ceritaku?

Aku nantinya akan kembali bersama Jovan?

Tidak. Tidak bisa.

Aku menggeleng pelan. Sebenarnya, terserah Aira akan bersama siapa pun. Aku tidak terlalu mempedulikan. Asal aku tidak kembali bersama Jovan. Yang terpenting lagi, asal aku tidak berakhir di rumah sakit jiwa. Itu lebih mengerikan daripada kantung mataku.

"Nona," suara panggilan Bibi Rini terdengar mengikuti suara ketukan pintu. "Ada tuan Ken, menunggu Nona."

Aku melupakan janji Ken yang akan berangkat bersamaku ke sekolah pagi ini. "Sebentar, Bi!"

Aku mengamati wajahku di cermin sekali lagi. Beruntungnya Elora. Meski memiliki kantung mata, tetapi tidak terlalu mengurangi kadar kecantikan di wajahnya. Aku menambahkan sedikit riasan di bawah mataku, agar lingkaran hitam di sana tidak terlalu mencolok. Setelah merasa cukup puas, aku segera keluar kamar untuk menemui Ken.

Ken berada di meja makan, bersama Papa, Aira dan ... Jovan. Ah, lelaki ini pasti berniat mengantar Aira. "Pagi, Papa," aku mengecup pipi Papa.

"Pagi, Elora," Papa menyambutku dengan senyuman cerahnya. "Sarapan dulu."

Aku mengangguk dan segera menempatkan diri di sebelah Aira. "Mau makan apa, Elora?" tanya Aira.

Aku menyesap susu cokelatku. "Aku sarapan nasi goreng saja," jawabku. Tidak biasanya, Aira mengambilkanku sepiring nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi setengah matang.

"Biasanya sarapan roti," Jovan menginterupsi dengan pipi yang sibuk mengunyah roti selai strawberinya.

"Perhatian sekali, sampai hafal kebiasaanku," sahutku membuat wajah Jovan memerah.

"Aku nggak perhatian padamu!"

Aku mengabaikan bantahannya. Perhatianku teralihkan oleh Ken yang sedang menikmati secangkir teh. "Kamu nggak sarapan, Ken?"

Ken tersenyum. "Aku sudah sarapan tadi. Kamu sarapan dulu saja. Setelah itu kita berangkat."

Aku mengangguk dan segera menyantap sarapanku. Tidak enak jika membuat Ken terlalu lama menunggu.

"Kalian berangkat bareng?" tanya Aira di sela-sela aku menikmati sarapan.

Ken mengangguk. "Kami sudah janjian." Dia melirik Jovan yang tampak tidak peduli. "Kalian sudah nggak tunangan, jadi boleh kan gue berangkat bareng Elora?"

"Terserah," jawab Jovan cepat.

"Kamu sudah membicarakan dengan orang tuamu, Jovan?" tanya Papa. "Kami belum sempat bertemu, jadi Om belum membicarakan soal pembatalan pertunangan kalian."

"Sudah, Om," jawab Jovan.

"Lalu apa kata mereka?" tanya Papa penasaran.

Jovan melirikku sejenak. "Mereka marah," jawabnya berterus terang. "Kakek juga marah," lanjutnya. Aku bisa membayangkan kemarahan kakek Jovan, Restu Wijaya.

I Become an ExtraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang