Delapan

5.9K 870 224
                                        

"Maaf sudah merepotkanmu, Elora," ucap Aira ketika kami keluar dari ruang dokter.

Akhirnya setelah 8 minggu, tangan Aira terbebas juga dari gips. Meski begitu, Aira tetap harus berhati-hati untuk menggerakkan tangannya. Dia juga harus rutin melakukan terapi agar aktivitasnya bisa kembali normal.

"Nggak masalah," balasku padanya. Aku merasa bersalah atas kondisi tangannya selama 8 minggu belakangan. Menemaninya ke dokter bukan hal yang merepotkan untukku.

Hubunganku dan Aira lumayan baik belakangan ini. Kami cukup sering mengobrol di rumah. Aira juga terkadang ikut belajar bersama denganku, Ken, dan Darrel. Walau pada akhirnya dia undur diri lebih dulu karena Jovan menghampirinya.

Sikap Jovan masih belum berubah. Dia memang tidak menggangguku lagi, tetapi Jovan juga tidak memperlakukanku dengan baik. Dia sering mengabaikan keberadaanku dan hanya fokus pada Aira. Aku sendiri tidak terganggu dengan hal itu. Toh, kami sudah tidak memiliki hubungan apa pun. Alangkah lebih baik aku fokus memperbaiki nasib Elora daripada mengurusi Jovan.

"Elora?"

Seseorang memanggilku. Aku dan Aira menoleh bersamaan. "Dokter Tristan!"

Ah, aku sudah lama tidak bertemu dengannya. Sejak pulang dari rumah sakit, komunikasi kami terputus. Apalagi aku mulai sibuk dengan tugas sekolah. "Dokter apa kabar?" tanyaku mengamatinya. Dokter Tristan masih sekeren sebelumnya. Rambutnya hitamnya sedikit memanjang, tetapi dia tetap kelihatan tampan.

"Baik," jawab Dokter Tristan dengan senyum ramahnya. Aku merindukan senyuman itu. "Sedang apa di sini? Kamu sakit?"

Aku menggeleng dan menunjuk Aira. "Saya menemani Aira, Dok. Gipsnya dilepas hari ini," jelasku.

"Oh." Dokter Tristan mengalihkan pandangannya pada Aira. "Halo, Aira. Saya dokter yang pernah merawat Elora," katanya memperkenalkan diri.

Aira membalas senyuman Dokter Tristan tanpa ragu. "Saya Kakak Elora, Dok. Terima kasih sudah merawat Elora."

"Dokter sudah selesai praktik?" tanyaku. Dokter Tristan kembali menatapku dan menggeleng.

"Setelah ini saya ada visit ke bangsal," jelasnya.

"Menjadi dokter pasti sangat melelahkan," komentarku.

Dokter Tristan tertawa sambil membetulkan letak kacamatanya. Hanya gerakan sederhana, tetapi justru memiliki pesona tersendiri di mataku. "Semua pekerjaan memang melelahkan. Asal dilakukan dengan ikhlas, semua akan terasa menyenangkan."

Menyenangkan dapat mengobrol dengannya. Dokter Tristan sangat dewasa dan menyenangkan. "Wah, menarik. Apa sebaiknya saya sekolah kedokteran saja setelah lulus?"

Dokter Tristan tertawa kecil. "Pilihan yang bagus. Saya bisa merekomendasikan universitas yang bagus untukmu."

Aku tersenyum penuh kemenangan. Pancinganku sukses. "Boleh. Saya akan traktir dokter untuk membahas rekomendasi itu."

"Baiklah. Ditraktir anak SMA? Siapa takut," balasnya.

Sejujurnya, aku tidak nyaman ketika Dokter Tristan mengingatkan kalau aku masih SMA. Aku jadi menyadari age gap yang begitu jauh di antara kami. Andai saja aku bertemu dengannya sebagai Nara. Mungkin age gap tidak menjadi masalah.

"Sebentar." Ponsel Dokter Tristan berbunyi. Melihat betapa seriusnya Dokter Tristan menjawab panggilan itu, kemungkinan ada hubungannya dengan pasien. "Saya harus pergi dulu. Ada pasien darurat," katanya.

Aku mengangguk, melambaikan tangan pada Dokter Tristan yang melangkah menjauh. Namun, lelaki itu tiba-tiba berhenti dan berbalik. "Saya akan menghubungimu segera untuk menagih traktirannya, Elora."

I Become an ExtraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang