Chapter 10. Sensitif

6.9K 203 0
                                    


"Selamat datang anak-anak Bunda" teriak seseorang heboh saat aku dan Mas Rian baru saja memasuki rumah, dengan kagetnya justru aku malah mengeratkan genggamanku pada tangan Mas Rian yang sedari tadi ku pegang.

"Astagfirullah Bunda, Mama, kalian. kok udah ada disini aja sih kalian" ucapku tak percaya, pasalnya sebelum mereka pulang dari hotel tadi sempat berbicara padaku dan Mas Rian jika mereka tidak bisa ikut ke rumah tempat kita pindahan ini dan sekarang, justru mereka lah yang lebih dulu sampai daripada kami.

"Aduh kamu ini kak, kenapa sih nggak mau diganggu iya sama kami hmm?" sahut Mama dengan senyuman jahatnya itu, membuatku terbelalak karena apa yang diucapkannya.

"Eeh bukan gitu Ma, ihh aku mah salah terus di mata Mama" ucapku kelimpungan susah menjelaskan apa yang harus ku jawab kepada mereka.

Sontak saja, mendengar ucapanku yang ntah berantah itu mereka semua terkekeh karena ku. "Sayang" lagi dan lagi aku terperangah kaget dengan panggilan yang diucapkan Mas Rian kepadaku.

Astagfirullah akhi, kenapa dikau harus memanggilku dengan sebutan itu di depan mereka

"Massss...." gemesku lalu mencubitnya, berbeda dengan Mas Rian yang terlihat meringis kesakitan mereka terlihat semakin terbahak karena tingkahku yang absurd itu.

"Tuh, nggak salah kan Bunda Yah jodohin mereka So sweet gitu jadinya."

So sweet apanya coba, gedeg malah iya aku

"Hahaha, iya dong Bun mereka kan memang cocok sedari dulu. Cuma mereka saja yang sempat sama-sama menolak kehadiran masing-masing hahaha" sahut Ayah membuatku malu sendiri.

"Ini lepasin yang, sakit tau" ucap Mas Rian menyambung membuatku refleks melepaskan genggaman tanganku pada tangannya.

"Ih pegang-pegang, bukan mahramnya" sewotku.

Ini sejak kapan aku pegangan tangan sama Mas Rian?

"Loh, jelas-jelas kamu loh yang tadi pegang tangan saya" jawabnya tak terima membuatku memutar akal sehatku agar tetaplah Mas Rian lah yang salah.

Duh elah, jahat banget ya aku ckckck

"Ribut aja udah ribut, kamu tuh selalu saja nggak mau disalahkan Prill Prill" celetuk Papa tiba-tiba membuatku meringis mendengarnya.

"Ya udah yuk masuk, Aprill capek."

"Loh, capek? emang udah ya?" aku memutar mata malas mendengar sahutan Mama yang terdengar ambigu itu.

"Udah apa sih Maaa, belum. Aku rebahan santai dari kemarin-kemarin, bayangin aja coba dari wisuda terus nikah terus pindahan aduh lier pala aing teh".

"Hmmm, kirain udah kan Mama juga senang ya nggak Rik" lanjut Mama lagi dan lagi lalu menoleh ke arah Bunda seakan meminta persetujuan yang sama-sama diangguki oleh Bunda, sontak saja aku menggelengkan kepala cepat.

"Nggak usah aneh-aneh deh Ma."

[Skip]>>>

Jam menunjukan pukul 12:45 WIB, kini aku dan Mas Rian begitupun kedua orang tua kami sedang bersantai-santai di ruang keluarga. Aku masih saja merebahkan diri di atas karpet tebal yang ada di ruangan ini dengan kepala yang ku senderkan pada pinggiran kursi sofa tak lupa dengan bantal empuk yang bertengger di kepalaku menyangganya agar tidak terlalu sakit. Berbeda dengan Mama dan bunda yang sibuk di atasku mengupasi apel lalu menaruhnya di atas piring.

"Oh iya Ma, Bun. Mas Rian, Papa dan Ayah kemana? kok nggak kelihatan sejak tadi itu" tanyaku tiba-tiba sembari mencomot potongan apel yang sudah dikupas ke dalam mulutku.

My Husband, My Dosen [TERBIT] ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang