Keesokan harinya, Devano bangun lebih awal, benar semalam Devano dan Rachel menginap di rumah sakit untuk menjaga Clarissa. Ia melihat Clarissa yang masih tertidur pulas dan ini pertama kalinya Devano melihat wajah cantik Clarissa saat tertidur. Ia pun mengulas senyuman, lalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Setelah selesai, ia berjalan ke arah jendela, dan menyibak gorden tersebut. Membuat sinar matahari menembus jendela kaca dan menerangi ruangan itu.
Clarissa yang terpapar langsung dengan cahaya seketika menggerakkan matanya, ia sedikit terganggu dengan pencahayaan yang mengusik tidurnya. Devano yang masih setia berdiri dekat jendela pun tersenyum.
Clarissa membuka matanya perlahan, sesekali menggosok matanya untuk menyesuaikan cahaya. Pandangannya tertuju pada sosok yang sedang berdiri dekat jendela dengan membelakangi sinar matahari. Sangat silau, saat itulah Devano melangkah ke kanan menutup tubuh Clarissa dengan bayangannya.
Wajah berseri milik Devano lah yang menjadi pemandangan pagi Clarissa. Dengan biasan sinar yang ada di belakangnya, seakan menambah efek silau bagaikan malaikat sedang tersenyum manis. Seketika jantung Clarissa berdegup kencang.
Kenapa sepagi ini jantungku sudah berdegup dengan kencang, batin Clarissa.
“Selamat pagi, Tuan Putri Clarissa,” sapa Devano dengan senyum manisnya.
Astag! Ssenyum Kak Vano begitu manis pagi ini, gumam Clarissa dalam hati memuji senyuman Devano.
“Pagi, Kak,” jawab Clarissa sedikit canggung.
Kemudian Devano pun kembali menyibak gorden disetiap jendela, lalu ia ke sofa membangunkan Rachel yang masih tertidur pulas. Clarissa pun dapat bernapas lega, ia tak tahu kenapa ada kejadian seperti ini di pagi harinya. Dengan terpaksa Rachel pun bangun dan membersihkan diri.
“Aku akan ke luar untuk mencari sarapan, kalian bersiap-siaplah. Setelah sarapan kita akan ke rumah sakit melihat keadaan Tante Mona,” ucap Devano yang kini tengah mengenakan jaket kulitnya.
Rachel hanya mengangguk paham. Sedangkan Clarissa kembali termenung karena mengingat kembali ibunya, yang kini sedang bertaruh dengan nyawa. Ketakutan merasuki dirinya, Clarissa sangat takut jika terjadi sesuatu pada Mona.
Devano pun menghampiri Clarissa dan mengacak lembut rambut Clarissa. “Berdoa agar semuanya baik-baik saja, kalau kamu kuat, Tante Mona pasti juga akan merasakan itu,” ucapnya dengan lembut lalu pergi meninggalkan kedua gadis itu ke luar ruangan. Rachel yang melihatnya pun tersenyum penuh arti.
“Aku takut, Hel,” ucap Clarissa lirih.
“Jangan takut, kamu harus kuat. Kita doakan yang terbaik saja.”
“Kalau Mamah pergi, aku bagaimana?”
“Sstt! Apa yang kamu katakan? Jangan berpikir terlalu jauh!” omel Rachel. Ia tak menyangka jika sahabatnya ini bisa berpikir sejauh itu.
“Aku hanya takut.”
Rachel pun menggenggam tangan Clarissa, meyakinkan sahabatnya itu agar tetap kuat dan tidak menyerah.
**
Sekitar jam sepuluh pagi, setelah sarapan mereka bertiga bersiap-siap atas kepulangan Clarissa dari rumah sakit. Sesuai rencana, setelah ini mereka akan ke rumah sakit untuk melihat keadaan Mona. Setelah menyelesaikan administrasi mereka pun keluar dari rumah sakit itu. Dan ternyata di depan rumah sakit sebuah mobil yang terbilang mewah sudah menunggu mereka.
Ya, Devano menelepon supir rumahnya untuk menjemput mereka. Clarissa cukup terkejut, ia pun memandang Rachel seakan bertanya. Rachel hanya mengulas senyuman dan menyuruh Clarissa masuk ke dalam mobil.
Di dalam mobil hanya ada keheningan sepanjang perjalanan, Clarissa hanya duduk sembari menatap ke luar jendela dengan tatapan kosong. Rachel pun menghela napasnya, ia sangat tahu jika sahabatnya ini membutuhkan penjelasan.
“Sa, maaf selama ini aku gak pernah kasih tau kamu. Aku dan Kak Vano hanya ingin hidup sederhana saja, dan ingin jauh dari kepopuleran,” Rachel memulai pembicaraan.
Tak ada jawaban dari Clarissa, entah apa yang dipikirkan gadis itu, ia masih setia melihat ke arah luar jendela.
“Lagi pula, kamu gak pernah bertanya kan?”
Terdengar suara embusan napas Clarissa. Rachel benar, ia selama ini memang tidak pernah menanyakan apa pun soal kehidupan pribadi sahabatnya. Tak seharusnya ia bersikap seperti ini. Clarissa pun mengalihkan pandangannya menatap Rachel yang duduk tepat di sampingnya.
“Gak apa, kamu benar, selama ini aku yang gak pernah tanya-tanya soal ini. Maafkan sikapku, Hel.”
Rachel pun tersenyum lalu berkata, “Itu wajar, karena kita sahabat, dan mungkin kamu sempat berpikir aku telah menyembunyikan sesuatu darimu.”
Clarissa pun tersenyum.
“Apa kafe tempat aku kerja itu juga termasuk?”
“Iya, itu milik Kak Vano. Hasil usahanya sendiri,” jelas Rachel singkat.
“Kalian hebat.”
Tak masalah bagi Clarissa, ia justru bangga dengan kedua saudari ini. Meski mereka orang kaya, tetapi lebih memilih hidup sederhana. Bahkan mau berteman dengan dirinya yang biasa-biasa saja.
Devano pun memandang Clarissa melalui kaca spion mobil, entah seperti magnet, Clarissa tiba-tiba juga melihat ke arah spion tersebut. Lagi-lagi Devano mengulas senyum manisnya, hal itu tentu saja membuat Clarissa menjadi canggung. Dengan cepat ia mengalihkan pandangannya kelain arah.
Dan saat itulah Clarissa kembali mengingat kejadian-kejadian yang Devano lakukan untuknya, tanpa sadar dirinya kini telah tersenyum sambil menatap ke luar jendela.
**
Suara dari alat rumah sakit yang terpasang di ruangan ini sangat mendominasi. Ya, kini Clarissa berada di ruangan Mona dirawat. Ia memandang wajah Mona yang terpasang alat pernapasan, terlihat sangat pucat. Lalu Clarissa menggenggam tangan tangan Mona dengan lembut, ia berharap ada keajaiban datang untuk Mona.
“Mah, bangun Mah, ini Rissa,” lirih Clarissa dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
Di ruangan itu juga ada Devano dan Rachel menemaninya. Rachel pun mengusap-ngusap punggung Clarissa.
“Mah, maafin Rissa….”
Suara Clarissa semakin terdengar pilu, ia sudah tak tahan lagi menahan cairan bening yang menggenang di pelupuk matanya. Dan akhirnya sedikit demi sedikit cairan itu pun tumpah tanpa permisi.
Cukup lama mereka berada di dalam ruangan tersebut. Berulang kali Clarissa mengusap air matanya, tetapi tetap saja air matanya tak berhenti keluar kala ia memandang mata Mona yang belum juga terbuka.
Tiba-tiba, Clarissa merasakan sesuatu bergerak di tangannya. Ia pun berulang kali melihat dan benar saja, tangan Mona perlahan bergerak.
“Mamah,”
Devano dan Rachel pun sedikit terkejut langsung mengahampiri Clarissa, takut terjadi sesuatu padanya.
“Hel, tangan Mamah bergerak.”
Dengan suara yang begitu semangat. Devano pun menyadari jika memang ada pergerakan pelan dari tangan Mona, dengan cepat ia memencet tombol darurat untuk memanggil dokter. Tak lama dokter dan beberapa perawat pun datang untuk memeriksa.
“Dok, tadi tangan Mamah saya bergerak,” ucap Clarissa dengan buru-buru.
“Baiklah, Nona. Saya akan memeriksanya dulu silahkan tunggu sebentar.”
Dokter pun memeriksa Mona, dan ternyata perlahan mata Mona terbuka, dokter pun bernapas lega melihat ada keajaiban ini.
“Rissa….”
🍀🍀🍀
Alhamdulillah 💜
Salam manis,
Mey :*
ODOC DAY 22
Balikpapan, 6 Mei 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Love For Clarissa ✔️
Romance[COMPLETED] [TAHAP REVISI] Saat kepercayaan diruntuhkan, saat itu juga semua telah berubah. Puing-puing kepercayaan yang berserakan, dapatkah bersatu kembali? Clarissa, gadis yang begitu ceria dan ramah. Berubah menjadi sosok gadis yang dingin tak t...