BAB 9

167 16 4
                                    

Seorang gadis berjalan di sebuah lorong yang begitu panjang. Ia terus berjalan, pandangannya lurus kedepan. Di kanan kirinya hanya sebuah tembok putih polos, gadis itu terus melangkah tanpa alas kaki. Namun, di tengah-tengah lorong gadis tersebut menghentikan langkahnya, suara seseorang memanggil namanya dengan lembut.

“Clarissa ... kembalilah.”

Suara itu terus menggema di sepanjang lorong, tetapi si pemilik suara tersebut tidak menampakkan wujudnya.

“Siapa itu?!” teriak Clarissa.

“Clarissa kembalilah, jika kamu terus berjalan, maka kamu akan melihat sesuatu yang tak terduga. Entah itu baik atau buruknya, kamu tidak akan tahu.”

Suara tersebut kembali terdengar. Clarissa tak mengerti apa yang dimaksud oleh pemilik suara tersebut.

“Apa maksudnya? Jika aku terus melangkah, aku akan mengetahui sesuatu? Jika memang seperti itu maka aku sungguh penasaran,” ucap Clarissa.

Karena rasa penasarannya itulah Clarissa memilih untuk terus melangkah menyusuri lorong tersebut. Suara misterius pun sudah tak lagi terdengar. Namun, Clarissa lagi-lagi mengehentikan langkah kakinya.

Pandangannya lurus ke depan, nampak sebuah pintu bercat hitam di depan sana yang kira-kira berjarak lima meter dari tempatnya berdiri. Namun, untuk bisa sampai ke pintu itu Clarissa harus melewati pecahan beling dan juga bara api yang terlihat memerah seperti baru saja dibakar.

“Sejak kapan semua ini ada? Rasanya ini semua tadi tidak ada,” ucap Clarissa dengan wajah bingungnya.

“Apa aku harus kembali? Tidak-tidak! Aku sungguh penasaran dengan apa yang ada di balik pintu itu! Tapi, bagaimana melewati ini? Bahkan kakiku saja tidak memakai alas!” keluh Clarissa.

“Maka jalan satu-satunya adalah kembali, tapi sudah terlambat! Kamu melewatkannya. Jadi, lewati saja pecahan beling dan bara api itu,” suara misterius itu kembali terdengar. Seakan-akan suara tersebut sedang memberi isyarat.

Clarissa berpikir sejenak, entah keberanian dari mana Clarissa pun menginjakkan kakinya ke jalan tersebut. Clarissa merintih saat telapak kakinya merasa begitu panas, tetapi ia terus melangkah.

Sambil berderai air mata, Clarissa perlahan melewati rintangan itu. Namun di tengah-tengah ia sudah merasa tak sanggup. Satu nama yang ia ingat.

“Kak James, tolong aku!” rintih Clarissa.

Dan entah dari mana sosok James berada di hadapannya, membuat Clarissa tersenyum senang dan mencoba untuk meraih tangan James. Namun, tangan lainnya justru menarik James masuk ke dalam pintu gelap tersebut.

“Kak James! Mau kemana? Jangan tinggalkan aku!” teriak Clarissa sekuat tenaga.

Bayangan James semakin menjauh dan perlahan menghilang, diiringi suara teriakkan Clarissa yang juga ikut menghilang.

“Kak James!” teriak Clarissa ketika terbangun dari tidurnya, napasnya begitu terengah-engah.

“Astaga! Ternyata Cuma mimpi, mimpi apa itu? Kenapa mimpinya tidak jelas!”

Clarissa kembali mengatur napasnya, dilihat jam menunjukkan waktu setengah tujuh. Mengingat hari ini ada jadwal kuliah pagi, Clarissa pun segera beranjak dari tempat tidurnya.

“Auw!”

Pekik Clarissa ketika kakinya merasa perih karena menginjak sesuatu yang tajam. Ia pun segera melihat telapak kakinya dan ternyata darah segar menetes di sana. Clarissa pun sadar jika yang dia injak adalah bekas serpihan kaca dari bingkai foto yang terjatuh semalam.

Love For Clarissa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang