Kiss

1.1K 86 7
                                    

Sunyi, suasana pantry yang penuh dengan bahan makanan itu kini hening. Baik Hinata maupun Naruto, keduanya tidak ada yang mau bicara. Naruto yang masih sibuk mencari cara untuk membuka pintu tertutup di depannya. Sedangkan Hinata yang hanya bisa duduk dengan perasaan gugup di tempatnya berdiri tadi.

'A..apa yang harus kulakukan?!' batin gadis indigo itu panik, untung saja pantry ini punya lampu penerangan, jadi ia tidak usah khawatir. Sekarang hanya satu masalahnya, dari sekian banyak orang di rumah ini. Kenapa dirinya harus terkunci bersama Naruto?!

Bukannya tidak suka, hanya saja Hinata masih gugup dan takut bertemu dengan murid pirangnya itu.

"Cih, Oi! Jangan bercanda, buka pintunya!" seruan Naruto, sontak membuat Hinata mengernyit kaget. Maniknya memandang pemuda pirang yang sejak tadi tak henti-hentinya berjalan bolak-balik di dekat pintu, di tambah tangannya yang terus memukul benda berbahan kayu itu.

Dok! Dok! Pukulan demi pukulan Naruto lancarkan. Tentu saja Hinata tidak tega melihatnya, bagaimana kalau tangan Naruto terluka dan lebam karena terus menerus memukul pintu yang tak kunjung terbuka.

Mau tak mau, Hinata berusaha menghilangkan rasa gugupnya. Gadis itu perlahan bangkit, dan berjalan pelan menghampiri Naruto di sana.

"A..ano, Naruto. Jangan memukul pintu itu terus, nanti tanganmu luka." Ujar Hinata sedikit memainkan jemarinya tanpa sadar,

Mendengar suara Senseinya yang sejak tadi terdiam, membuat Naruto berbalik sekilas. Entah apa yang terjadi, tapi sepertinya ia tidak ingin dulu melihat wajah Hinata.

"Kita harus secepatnya keluar dari sini, Sensei." Ucapnya singkat.

"Ta..tapi-" belum selesai Hinata menyelesaikan perkataannya,

"Aku yakin Sensei tidak akan tahan bersamaku di sini lebih lama lagi, benarkan?"

Deg! Pertanyaan Naruto terasa berat, biasanya saat berdua seperti ini pemuda pirang di depannya pasti memanggilnya 'Neesan' tapi sekarang. Mengatupkan bibirnya sempurna, sukses membuat gadis itu terdiam sesaat. Sampai akhirnya, Hinata mengadahkan wajahnya memandang wajah pemuda pirang di hadapannya dan menggeleng lemah.

Ia benar-benar tidak tahan melihat sikap dingin Naruto, biarpun hanya sehari. Ia tidak bisa, "Bu..bukan begitu Naruto, Neesan tidak bermaksud-"

"Tidak apa-apa, aku sudah paham kok."

'Kau tidak paham apapun Naruto!' kembali Hinata menggeleng, sedikit keberanian pun muncul dalam dirinya. Langkah kakinya yang kaku perlahan berjalan makin mendekati Naruto.

"Nee..Neesan memang bersalah Naruto, Neesan tidak bisa menjaga perasaanmu, tidak tahu kalau perkataanmu dulu itu bukan hanya sekedar candaan, Neesan benar-benar-" Saat Hinata hendak mengungkapkan isi hatinya lebih banyak lagi, sebuah telunjuk kini berada tepat di bibirnya. Menghentikan perkataannya seketika, air mata yang hendak turun pun terhenti.

Di depannya, Naruto dengan maniknya yang masih terlihat sedih. Memandang Hinata sendu, berusaha keras tersenyum.

"Sssh, Neesan tidak perlu meminta maaf. Semua yang kemarin kukatakan lupakan saja." ujarnya. Memanggil Hinata dengan sebutan 'Neesan' kembali.

'A..apa? Lu..lupakan? Bagaimana bisa?!' Hinata membatin keras, kenapa Naruto bisa berkata seperti itu dengan gampang.

Naruto menarik kembali tangannya, Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal. Sekilas memandang Hinata, sampai,

"Neesan benar, aku memang masih kekanak-kanakan. Kemarin tanpa sadar malah membentakmu. Jadi gomen, aku akan segera mencari cara keluar dari sini. Kebetulan tiga hari lalu Kaasan menaruh kunci cadangan juga di-" kali ini giliran dirinya yang berhenti berkata, saat manik Saphire Naruto tepat menangkap setitik air mata di pelupuk Hinata, raut wajahnya terlihat sedih.

Can I Love HimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang