1

2K 241 32
                                    

Gue berpikir, mungkin dunia gue berhenti berputar saat seseorang masuk ke dalam kafe ini dengan rok pensil se lutut dan stilleto yang cukup tinggi.

Semua yang ada di sana, berhenti begitu saja saat dia mengibaskan rambut sebahunya. Rasanya, memang dunia gue berhenti berputar begitu saja.

Parah. Gue bukan merasa percaya diri dengan ini. Tapi dia benar-benar berjalan ke arah gue. Dengan wajah heran dan antusias.

Dia tersenyum. Dan saat itu gue pikir, gue bakal mati.

Tapi ternyata tidak.

"Ini," kata dia sambil menyerahkan sebuah kunci dengan gantungan miniatur Freddie Mercury di sana. Tentu saja gue kenal.

"Eh kok ada di kamu?" oke, calm down. Gue sendiri merasa sangat payah dengan kalimat itu. Perpaduan, kaget, senang dan antusias bergabung jadi satu di dalam diri gue. Jadi, wajar kayaknya kalau gue asal aja menyebutkan kalimat.

"Tadi saya lihat kamu parkir motor, tapi lupa bawa kuncinya. Jadi saya masuk ke sini buat anterin kuncinya," kata dia lembut banget. Bahkan gue bisa jamin kalau suara lembut itu ngalahing lembutnya tahu sutra yang jadi sarapan gue di rumah hari ini.

"Oh, gitu. Makasih deh ya, untung yang nemuin mbaknya yang baik," juga cantik lanjut gue dalam hati.

Dia tersenyum ke arah gue, "Iya nggak apa-apa, tapi lain kali lebih perhatian aja mas, soalnya kan sekarang jamannya lagi jelek. Bisa jadi motornya mas yang gede itu, raib dibawa maling."

Aduh, please, jangan banyak-banyak kalau ngomong. Gue susah ngapalnya. Gue pengen merekam situasi ini dengan baik dalam kepala gue. Jadi, setiap kata yang keluar dari bibirnya itu harus gue ingat-ingat.

Gue tersenyum saja, saat dia juga tersenyum. "Saya makasih banget loh sama mbaknya, gimana kalau dalam rangka ucapan terimakasih, saya teraktir mba."

Dia menggeleng, lalu mengeluarkan gesture menolak melalui lambaian tangannya. "Nggak usah, saya buru-buru. Jam 10.00 nanti ada meeting. Sementara saya ada briefing dulu. Maaf ya, lain kali aja."

"Benar ya lain kali?" kata gue cepat-cepat. Takut dia nanti sadar kalau salah ngomong sama gue.

Benar saja, dia hanya tersenyum merasa bersalah karena tidak serius dengan pernyataannya. "Ya kalau ketemu lagi. Udah ya, saya mau ke atas dulu."

Kebetulan kafe kopi yang sedang aku datangi ini, berada di lantai dasar gedung kanto gue. Dan mungkin ada beberapa perusahaan yang juga memiliki kantor di gedung ini.

Tapi, tahu jika perempuan ini berkantor di gedung yang sama. Membuat gue merasa antusias. Maklum, sebagai fotografer, gue lebih suka berada di lapangan di bandingkan dengan kantor.

"Heh, ngelamun aja lo. Kenapa? Abis lihat malaikat maut?" Bekti sudah memegang dua gelas americano di hadapan gue. Dan kedatangan dia menghancurkan bayangan gue soal bidadari cantik yang sudah hilang dari pandangan itu.

"Rapat mulai jam berapa sih? Tumben banget rapat pagi-pagi gini. Biasanya juga nunggu gedung tutup operasional dulu,"

Bekti mengangkat bahunya, "Kaya nggak tahu kantor aja lo. Kadang kan suka bener. Tapi kebanyakan nggak benarnya."

Sebagai pekerja media yang semi freelance, gue dan Bekti adalah dua orang maha maklum dengan kebijakan kantor. Majalah yang terbit setiap minggu membuat gue dan Bekti yang harusnya berkerja di lapangan, terpaksa harus ke kantor. Alasannya adalah rapat proyeksi.

Padahal menurut gue, proyeksi bisa dilakukan oleh penanggung jawab halaman. Sementara gue dan Bekti hanya perlu menerima jadi. Lalu diberi perintah dan melaksanakannya dengan segera.

Tidak Ada Jam KerjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang