7

624 180 77
                                    

Satu hal yang gue tahu dari Wanda dalam mode serius adalah spazzing di internet. Suatu hari, gue sama dia kedapetan liputan bareng.

Pas balik dari liputan, gue sama dia lapar. Jadi berhenti di sekitar taman jajan di daerah Menteng. Dia pesan batagor gue pesan somay.

Gue merasa agak aneh karena Wanda bisa sangat fokus dengan ponselnya. Padahal gue tahu Wanda bukan tipe orang yang suka nunduk buat ngecek HP.

"Lagi ngapain sih lo tumben serius amat," gue mendelikkan mata, melihat apa yang dia lihat di ponselnya.

Terus ketika dia selesai baru dia menghadap ke gue, "Nyari, somay tuh makanan asal mana," dia polos banget sumpah. Karena setelah dia mencari asal muasal somay tersebut, ponselnya di letakkan lagi di meja.

"Nggak ada kerjaan banget sih lo. Segala somay dicarj darimana lah," gue sih udah cukup paham dengan tingkah lakunya. Tapi, ya selalu aja kaget.

"Ya emang kamu nggak penasaran? Asal muasal benda dan sesuatu itu bisa tercipta? Apa sebabnya? Apa akibatnya?"

Ya penting memang buat cari tahu hal begituan?

Gue menggeleng, "Nda, ada hal yang nggak perlu lo tahu. Contohnya asal muasal somay."

Dia berdecak, "Ya itu kan buat kamu. Bagi aku nggak. Aku harus tahu sejarah terciptanya somay."

Sumpah, penting banget nggak sih gue berdebat soal somay di tengah lapar? Kenapa juga Wanda keras kepala soal sejarah somay?

Gue cuma bisa mengalah, "Terus, jadinya somay asalnya dari mana??"

Dia tersenyum lebar. Semakin kesini gue semakin tahu, kalau Wanda itu gampang banget merasa bahagia. Senyumannya yang lebar menandakan kalau dia senanh dengan keputusan gue yang mengalah.

"Jadi, kan aku baca, somay tuh asalnya dari China. Nah di sana itu somay dinamain dengan siomay, terus kalau kantonnya," dia berhenti lalu melihat ke arah ponselnya, "dinamain dengan nama shaomai."

Gue tertawa kecil ketika dia memajukan bibirnya hanya untuk menyebutkan nama somay dari bahasa lain. Habis itu gue cuma mengangguk karena kebetulan makanan kita juga sampai.

"Setiap keberadaan kita ada alasannya. Kamu harus belajar itu. Aku, kamu punya alasan hidup di dunia ini."

Gue menatap wajahnya yang masih tidak berhenti tersenyum. "Kalau gue hidup di dunia ini kayaknya supaya nyokap gue bisa nyuruh-nyuruh gue deh," kata gue tiba-tiba. Membuat dia tertawa kecil.

"Salah," kata dia.

"Kalau bukan jadinya apa dong?" Gue sih sengaja biar dia bisa mikir. Anaknya kan memang suka mengejutkan.

"Karena aku tercipta buat kamu. Maka kamu ada artinya tercipta buat aku."

Halah ngomong apa sih ni anak. Bisa aja. Gue nggak tahu deh apakah muka gue sekarang bisa semerah sambal yang ada di atas meja. Dan ya, gue mau mati sekarang.

.

Gue sama sekali tidak menemukan sebuah kebohongan atau candaan ketika dia ngajak gue jadian. Sebaliknya, gue melihat ada kesungguhan yang dia berusaha sampaikan ke gue.

"Kaget ya. Tapi aku serius. Aku pengen jadian sama kamu," kata dia lagi seolah menyadari kalau gue lagi bingung.

Gue berdesis. "Anjali memagnya nembak duluan ya kalau di Koch Koch Hota Hai," kata gue berusaha mencairkan situasi.

Sebenarnya gue takut kalau doa bercanda. Gue takut kalau gue serius nanti dia ngeprank gue dengan candaannya. Jadi gue yang mulai.

"Aku lagi jadi Wanda tahu! Tapi nanti kalau kita udah pacaran nggak apa-apa panggil Anjali lagi," ujar dia.

"Yaudah Wanda yang cantik, minum kopinya, kayaknya kamu ngantuk," kata gue lagi. Aslinya gue sedang berusaha mengatur detak jantung supaya nggak berhenti tiba-tiba karena capek.

Bagi gue, berada di sekitar Wanda aja udah sangat melelahkan. Kemudian menerima perlakuan Wanda juga sangat melelahkan. Dan sekarang menerima pernyataan cinta.

Sepertinya Wanda lagi membunuh gue pelan-pelan.

"Charis, aku serius. Jadian yuk," dia masih bersikeras.

"Jangan ngada-ngada," siapa sih yang nggak kaget ketika perempuan yang begitu lo kagumi nembak gue dengan tiba-tiba gini.

Wanda menyilangkan tangannya di atas dada, lalu menatap gue. "Emangnya selama ini aku ngode ke kamu, kamu nggak ngeh," keluh dia.

Dia manis banget. Serius. Sekarang gesturenya berubah seperti anak kecil yang sedang minta permen ke kakaknya. Tapi gue nggak mau jadi kakaknya ya. Maunya jadi suaminya.

"Kamu bercanda terus sama aku, jadi, wajar kalau aku nggak ngeh," ya, ya, gue tahu gue terdengar seperti sedang merajuk dengan seorang kekasih. Gue juga nggak tahu sejak kapan panggilan gue ke dia jadi berubah aku kamu gini.

"Yaudah sekarang aku serius. Jadian. Ayok."

Nggak bisa gue nggak bisa nerima gitu aja. Gue suka  benar-benar suka sama dia. Tapi gue masih nggak terima kalau dia nembak mendadak gini.

"Kamu tahu ini aneh banget buat aku. Kamu kebiasaan bercanda sama aku. Terus sekarang tiba-tiba serius. Pasti ada alasannya."

"Aku nunggu kamu," kata dia cepat, "aku nunggu kamu bilang duluan karena aku yakin, kamu juga suka aku."

Kenapa ini anak jadi kelewat pede ya? Tapi tetap sih gue suka. Soalnya tebakan dia benar. Sudah terlihat seperti budak cinta kan gue?

"Ya gimana aku bisa bilang ke kamu kalau tiap aku mau serius kamunya bercanda terus," kata gue sebal. Bukan salah gue harus menunda soal yang serius-serius dengan dia. Soalnya dia yang suka bercanda juga.

"Iyaaaaa makanya sekarang serius," kaya dia gemas ke gue, jemarinya memegang lengan gue. Nggak tahu aja gue udah lemah jantung menghadapi dia seperti ini.

"Aku mikir dulu. Masa ngedadak."

"Jangaaan. Jangan mikir. Sekarang aja ayoook."

Ini dia benar-benar seperti adik yang meminta kinder joy di depan meja kasir. Kakinya bergerak resah karena takut nggak gue belikan.

"Kamu nggak suka aku?"

"Ya nggak lah. Suka banget aku ke kamu," gue tanpa sadar mengelak. Ya benar, mana mungkin gue nggak suka dia padahal sejak awal bumi gue cuma bisa berhenti kalau ada dia.

"Yaudah, kenapa nggak mau?"

Iya, gue juga nggak tahu, kenapa gue nggak langsung setuju. Tapi sumpah gue yakin gue sangat terkejut dengan ungkapan perasaan dia yang tiba-tiba.

"Kenapa?" Gue bertanya ke dia.

"Kenapa apanya?"

"Kenapa aku? Banyak laki-laki.."

"Laki-laki ganteng kaya yang mau sama aku gitu?" Sela dia tanpa repot mau mendengar apa yang mau gue katakan.

Gue mengangguk.

"Karena aku nggak suka. Jadi ngapain jadian kalau aku nggak suka?"

Dia benar. "Aku nggak punya apa-apa," gue jujur. Mobil, motor, apartemen yang gue pakai adalah milik orang tua gue. Sementara gue masih nggak punya apa-apa.

"Aku nggak minta apa-apa."

"Tapi nanti.. kamu pasti butuh sesuatu."

"Ya aku beli sendiri. Kenapa sih mikirin gituan?"

"Karena aku nggak mau kecewain kamu nantinya."

.

Memang secepat itu hehehe.
Ga sabae besok T.T mau dengar lagunya duo killer Zico x Wendy.

Lagi bayangin, mereka satu panggung di acara award.
Zico pasti datang karenga anysong raja chart dimana2. Terus Psycho yang juga masih masuk chart sampai sekarang.

Btw, aku punya keterbatasan. Makanya, mohon maap kalau part ini rada boring. Xoxo.

Tidak Ada Jam KerjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang