14

736 156 42
                                    

Suatu pagi, ponsel gue sudah berisik. Gue yang belum bangun tidur membiarkan itu terjadi. Capek gue, semalam liputan sampai jam tiga pagi. Terus sekarang udah diganggu dengan suara ponsel.

Tapi, sepertinya itu adalah sambungan penting. Karena deringnya nggak berhenti. Jauh lebih penting dibandingkan dengan sambungan telepon dari Mas Agung.

Cuma tiga orang. Kalau nggak Papa, Mama ya Wanda.

Dan benar. Salah satu dari mereka.

"sayang?"

Sudah ditebak siapa yang manggil gue dengan sebutan itu? Tentu saja. Wanda Sonia.

"Hmm," sahut gue yang masih amat mengantuk.

"Masih bobo ya kamu?"

Sesungguhnya gue sama sekali nggak yakin dengan kalimat itu. Tapi ya gue jawab aja, "Hmm," seperti sebelumnya.

"Tapi kamu denger aku kan?"

Sekali lagi. "Hmm."

Dia diam. Gue hampir tidur lagi. Tapi cepat-cepat memaksa diri untuk buka mata. "Kamu kenapa nelepon aku pagi-pagi gini?"

Ini masih jam 05.00 subuh. Nggak biasa banget Wanda nelepon gue.

"Yang kok kita nggak ada romantis-romantisnya ya?"

Oke kalimat ini jauh lebih mujarab ketimbang suara alarm. Gue jadi benar-benar bangun. Duduk dengan tegak. Siap-siap dengar kalimat yang didengar Wanda.

"Emangnya kenapa? Pagi-pagi gini kamu nelepon aku bahas ginian?"

Gue ngaca di depan cermin yang ada di sudut kamar. Nggak usah bayangin gimana gantengnya bangun tidur gue. Karena gue nggak akan pernah jadi kenyataan buat banyak perempuan kecuali Wanda. Gue adalah wujud dari mimpi indah Wanda.

Haha.

Terserah lah gue lagi bucin.

"Hari ini aku ada lapsus."

Gue menautkan alis, heran dengan curhatan Wanda kali ini. "Ya terus?"

"Lagi nyusun pertanyaan. Terus kepikiran kamu."

Nggak tahu gue harus senang atau gimana soal ini. Sebab Wanda mikirin gue adalah mimpi gue yang jadi kenyataan. Senang aja bawaannya kalau Wanda keinget gue terus.

"Kenapa kepikira aku?"

"Karena kamu pacar aku?"

Hehe.

"Terus hubungannya apa?" tanya gue berusaha menaydarkan diri agar gue nggak terlalu senang. Apa sih ya, gue selalu takut zonk. Takut dia cuma bercanda kaya yang udah-udah.

"Aku jadi menyadari satu hal. Kalau kita kebanyakan bercanda."

"Yakan kamu yang sering bercanda. Akumah ikutin kamu doang sih," gue nggak mau terima. Kan yang bercanda dia juga.

"Yakan aku bilang kita. Bukan kamu doang ih," jawab dia.

Emang dasarnya gue ngantuk jadi suka nggak nyambung kalau diajak ngomong gini.

"Oh iya maap. Kamu maunya gimana? Diseriusin? Aku bisa kok." Janji aja dulu.

Dia diam. Gue mulai ngantuk lagi.

"Eum..."

Gue nunggu dia ngomong. Sambil kicepin mata yang udah mulai berat lagi.

"Sebut namaku," kata dia terputus.

Gue langsung menyela, "Sebut namaku tiga kali," ulang gue.

Gue tahu gue salah. Situasi lagi serisu gini harusnya gue nggak jayus ke Wanda. Tapi, ini kaya udah jadi habitat aja. Ngejailin dia.

Tidak Ada Jam KerjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang