6

622 180 53
                                    

Kejayusan Wanda nggak berhenti ketika di India saja. Setelah menghabiskan waktu sampai seminggu, kami kembali ke Indonesia menjalankan rutinitas pekerjaan sehari-hari.

Karena Wanda adalah karyawan baru, terlepas dia sudah menetap lama di kantor. Tapi ini adalah lingkungan baru bagi dia. Jadi, dia tidak banyak keluar kantor untuk melakukan peliputan.

Lagi pula, setahu gue, Wanda di sini untuk dipromosikan. Bukan untuk diperkerjakan sebagai karyawan seperti gue.

"Jadi yang bakal pergi ke Jepang buat lancong edisi bulan depan siapa?" Mas Agung mulai melakukan penawaran lagi.

Gue sebenarnya mau aja ke Jepang. Tapi baru bulan kemarin balik dari India. Jadi nggak enak harus meninggalkan kantor lagi. Sementara nggak ada yang mau mengajukan diri ke Jepang.

Usut punya usut ternyata anak-anak kantor udah punya rencana lain yang mana waktunya pas banget sama keberangkatan ke Jepang. Maklum, bertepatan dengan hari libur nasional.

Ini.. gue berasa miris sendiri gitu. Karena gue merasa tidak punya rencana apapun pas liburan nanti. Dan gue juga baru saja menyadari kalau gue benar-benar nggak memerhatikan kalender yang menggantung di rumah gue.

Semua diam. Kecuali Wanda. Dia sibuk melihat staf lain yang mungkin aja mengajukan diri. Tapi tidak ada. Membuat dia mengulum senyum. 

"Mas," Wanda memanggil Mas Agung. Membuat Mas Agung menoleh ke arah dia. "Boleh usul lagi nggak sih? Kayaknya yang lain juga nggak bisa berangkat," matanya mendelik lucu. Terus gue senyum. Padahal nggak ada yang senyum.

"Gue sih boleh aja," ujar Mas Agung, lalu menggosokkan telunjuk ke dagunya, "Tapi yang lain gimana?"

"Gue oke kok Mas," suara Digta berkumandang paling keras. Membuat anak-anak menoleh ke arah dia. 

"Senang banget lo nggak ditunjuk!" Bekti yang di samping gue mulai menanggapi.

"Bawel lu bang. Lu juga seneng kan nggak ditunjuk. Mau jalan kan lu sama Mbak Teya!" 

Gue sendiri bingung kenapa mereka punya agenda masing-masing tetapi gue nggak. Gue juga merasa nih, kayaknya mereka membuat forum yang nggak ada guenya.

"Ya suka-suka gue lah kan libur," Bekti masih nggak mau ngalah.

"Udaaaah, yaudah yang berangkat Wanda," kata Mas Agung memutuskan. Tapi dia melanjutkan, "Bekti lo fotografernya ya."

"Yaaah Mas jangan."

Suara itu bukan hanya keluar dari bibi Bekti yang kecewa. Tapi juga dari Wanda yang sepertinya keberatan dengan keputusan itu.

"Kenapa lagi deeeh," gue akui, Mas Agung juga kayaknya pusing punya dua anak seabsurd Wanda dan Bekti yang suka ngelawan. 

"Jangan Bekti dong maaas, aku nggak ada chemistry sama dia," Wanda memelas.

"Wanda, Bekti udah jago Bahasa Jepang. Jadi lo nggak usah sewa penerjemah lagi. Saving cost," Mas Agung membela diri.

"Aku juga bisa kok Bahasa Jepang, jadi nggak usah sewa penerjemah. Nggak usah ada Bang Bekti juga," kata Wanda.

"Iya mas jangan gue, nanti ada yang cembokur," Bekti lirik gue sambil senyum lebar. Udahlah semua jelas tau siapa yang dimaksud Bekti.

Ya pasti tahu. Setelah gue dan Wanda balik dari India, semuanya heboh nanya gue dengan kalimat, "cie, yang kewong di India. Gimana Rahul, Anjalinya cantik nggak pas nikahan."

Memang ya, nggak ada rahasia di kantor ini. Semua orang tahu informasi terbaru. Yang nggak tahu gue doang kayaknya.

"Ya udah kalian maunya siapa?" Mas Agung terlihat semakin lelah dengan tingkah laku dua stafnya ini. Terlihat dia memijat kepalanya yang mungkin cukup penat.

Tidak Ada Jam KerjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang