3

791 197 122
                                    

Gue bukan pertama kali ya jatuh cinta. Dulu pas awal masuk gue kejar tuh si Jennie anak sekret. Tapi sayangnya ada Abin yang katanya pacar sehidup semati. 

Terus gue juga sempat kejar Joice, wartawan majalah sebelah. Sayangnya dia suka yang oriental. Belakangan gue tahu dia pindah ke Jepang karena suaminya orang sana.

Terakhir gue juga pernah ngebet Senggigi. Model yang biasa gue pake kalau gue kehabisan stok foto. Sayang banget sih, dia ternyata jatuh cinta sama asisten gue Stefan pada saat itu.

Ketika dirunut, kisah cinta gue emang nggak begitu bagus. Pacaran terakhir itu empat tahun lalu. Setelah gue selesai menghabiskan masa kontrak di kantor dan diangkat karyawan tetap.

Waktu itu sama Rossa. Yang namanya cewek, pasti kalau sudah 23 ke atas orientasinya menikah. Ya gue belum sanggup. Karena gue harus menjajakan karir lebih lama. Nabung. Cari sampingan. Dan kayaknya dia nggak mau nunggu. Akhirnya ya putus.

Dua tahun lalu gue sempat undangan ke nikahan dia sih. Emang dasar anaknya cantik, jadi ya nikah sama yang ganteng. Kalau kata anak jaman sekarang complete each other.

Sejak sama Rossa gue mulai kaya apatis sama pacaran. Terkadang gue memang merasa kesepian. Tapi hal itu gampang gue atasi. Tinggal telepon Bekti atau Kai, gue punya teman.

Soal Wanda.

Ini yang beda. Gue juga penasaran. Kenapa gue bisa kicep di depan dia. Padahal sejak awal dia menang visual doang. Maksudnya terlepas anaknya seru gue merasa kicep sejak bahkan kita belum saling kenal.

Tapi masalahnya adalah. Sekarang kita temenan. Gue amat sangat menyadari. Pertemanan adalah bentuk yang bakal membuat gue dan dia (kalau dia merasakan hal yang sama) terus menerus salah paham.

Coba  bayangkan kalau kita bukan temenan. Ucapan-ucapan jayus Wanda pasti gue anggap serius. Begitupun juga apa yang gue katakan ke dia. Godaan gue yang memang sedikit menyaratkan hubungan gue dengan dia yang gue harapkan. Tapi, dia pasti hanya menganggapnya gurauan selayaknya teman laki-laki dan perempuan.

Seperti sekarang. Ketika dia mengetuk pintu hotelku.

"Cintaku... sarapan kuy. Lapar nih. Kita makan di restoran aja yuuuuuk. Cintaku apakah kamu masih tidur."

Gue... nggak mau berharap. Please.

.

Culture shock.

Sumpah sih gue udah mual ada di luar gedung di India. Selain aromanya yang sangat ga sesuai dengan gue. Bunyi klakson dimana-mana.

Di samping gue ada Wanda yang sibuk dengan kamera film yang dia bawa. Aneh juga ini anak, di tengah mirorrless sedang merajalela, dia memilih untuk menjadi kaum feodal. Menggunakan kamera film yang sudsh lusuh.

Sejak tiba di hotel, Wanda diam aja. Kayaknya dia masih tersipu dengan balasan gue. Ya lagian dia mancing. Nggak tahu aja, di balik wajah imut kelinci gue, ada jiwa macan yang siap mengaum. Auum.

"Pucat banget kamu," Wanda tiba-tiba ada di belakang gue dengan sebuah gelas plastik berisi es berwarna bening kekuningan. Ada dua, satu di tangan kanannya. Satu di tangan kirinya. Buat gue.

"Kalau ngasih ke teman tuh yang sopan," kata gue membetulkan gesturenya menyerahkan minuman tersebut.

Dia menatap gue lalu mendelikkan mata, "Kayaknya kamu bukan teman aku deh."

Eh apaan nih. Gue sama dia teman satu kantor dan dia tidak mengakui gue. Gue sudah siap bersungut sama dia.

Tapi..

"Kamu kan calon mempelai pria di pelaminan yang sama dengan aku."

A...nu. 

Gue tidak bisa berkata-kata. Sumpah sih Wanda jayusnya lebihin Jennie. Nggak tahu deh hati gue sanggup apa nggak menghadapi ini. Makin lama makin lemah. Semoga harga tanah di India lebih murah. Jadi pemakaman gue nggak perlu ngeluarib ongkos lebih mahal.

Tidak Ada Jam KerjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang