13

695 156 46
                                    

Jepang di musim gugur adalah Dieng di musim hujan. Dingin ditambah musim hujan. Itu gambaran Jepang yang saat ini ada di dalam bayangan gue. Sehingga gue memutuskan untuk bangun di pagi hari dan mandi di saat matahari masih enggan muncul.

Kamar gue dan Wanda terpisah. Jadi gue nggak perlu khawatir kalau suara pengering rambut kamar mandi sudah berisik di pagi hari. Wanda nggak akan terganggu. Gue tahu banget kalau dia suka begadang Cuma buat nonton ASMR di youtube pas malem. Jadi dia bakal bangun lebih siang supaya jam tidurnya maksimal.

Gue suka bingung sih, video ASMR tuh manfaatnya apaan? Cuma suara nggak jelas yang katanya satisfying. Padahal, liat wajah gue aja udah satisfying sih menurut gue. Nggak perlu nonton video yang fungsinya cuma didengarkan.

Tapi kayaknya perkiraan gue salah. Setelah gue selesai ngeringin rambut gue, mengenakan kaos oblong dan menaikkan suhu kamar supaya lebih hangat. Gue dengar suara ketukan dari pintu masuk. Gue merasa kalau gue nggak sedang memanggil jasa kamar. Jadi kemungkinan besar itu adalah Wanda.

Benar saja, Wanda masih bergelung selimut. Terus masuk narik gue. Muka bantal dia yang menggemaskan itu bahkan terlihat seperti mengigau. "Kamu masih bobo ini yang?" tanya gue memastikan kalau-kalau dia tidur sambil berjalan.

Wanda diam saja, tapi dia tiba-tiba mendorong gue ke atas kasur. Menarik selimut yang sudah gue lipat untuk menutupi tubuh gue. Lalu dia tidur di atas sofa. Membuat gue bingung dengan tingkahnya. Tapi gue selalu bingung sih sama tingkahnya.

"Nda?" panggil gue.

"hmm?" dia jawab dengan mata tertutup.

"Ini kenapa aku diselimutin gini kayak orang sakit."

Dia berusaha membuka matanya. "Aku mau bangun," kata dia menutup lagi matanya. Alisnya berkerut, seolah berusaha membuka matanya.

"Ya terus hubungannya sama aku apa? Ini kenapa aku diselimutin?" gue masih bingung.

"Mata aku nggak bisa kebuka," katanya polos. Matanya masih tertutup.

"Yaaa terus?" gue mau buka selimut gue. Tapi,

"jangan dibuka, Cahaya yang kamu pancarkan sampai ke kamar aku tadi. Silau banget, nggak bisa kebuka mata aku masa."

Astaga, Wanda. Gue mangap aja ketika dia bilang gitu. Terlalu kaget. Ini anak bangun juga belum. Bisa-bisanya gue digombalin pagi-pagi gini. Dengan mata tertutup dan muka bantal yang bengkak dimana-mana. Cuma Wanda aja kayaknya yang bisa.

Meskipun jantung gue berdetup-detup, gue memaksa bangun dan menyingkap selimut gue. Terus jalan ke dia. Kayaknya gue yakin sih, dia ini habis nonton drama atau serial netflix sampai subuh. Baru tidur beberapa jam. Terus kebangun, dan nyamperin gue ke sini.

"Alesan kamu. Bangun buruan, kita mau ke Shinjuku. Aku mau ambil foto, ayok buruan."

Dia cuma menggeliat. Terus narik selimutnya ke atas kepala. Menyembunyikannya dari gue. Gue menghela napas. Nggak bisa maksa dia. Tapi, ya gimana, gue sama dia sekarang kan sedang berkerja.

"Aduh-aduh aku kesilauan," kata dia merajuk. Sumpah deh ini anak.

Gue sebenarnya bukan orang yang sabar. Kalau bukan Wanda mungkin gue tinggal jadi jalannya sendiri-sendiri aja. Tapi, berhubung ini Wanda, pacar gue. Jadi gue maunya bareng aja. Kaya truk. Gandengan.

"Ayoook bangun," gue maksa dia bangun.

Tapi, bukannya dia yang bangun justru gue yang balik tidur. Dia narik gue. Sampai gue tiduran di sampingnya. "Ugh, hangat. Matahariku menghangatkanku," dia ngomong gitu sambil ngeduselin kepalanya ke dada gue.

Tidak Ada Jam KerjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang