9

600 169 69
                                    

disclaimer : kayaknya part ini nggak lucu deh T,T

Selain cantik, Wanda itu lucu. Buktinya gue selalu ketawa ketika ingat apa aja yang sudah dia bilang ke gue. Padahal kadang itu-itu aja. Kaya ketika gue ingat kalau dia pernah nempel banget sama gue. Cuma karena gue ganteng banget pas hari itu.

"Pacar aku ganteng banget, aku pusing," dia bilang gitu sambil remas-remas rambutnya sendiri. Gue ketawa keras, karena benar-benar melihat kelucuan yang dia berikan ke gue doang.

Sesuka-sukanya gue sama dia, gue bisa menahan diri. Bisa membedakan mana hubungan profesional atau pekerjaan. Bersama dengan hubungan percintaan gue dengan Wanda. Tahu kan Wanda punya peran penting di dalam kantor. Dan dia memanfaatkan itu untuk kerja bareng sama gue terus.

Gue sama sekali nggak masalah. Sebaliknya gue senang. Karena bisa bareng-bareng terus sama dia. Gue bisa kenalin dia ke pewarta lain yang ada di lapangan. Sekaligus pamer kalau cewek gue cantik. Gue bisa lupain semua perempuan yang pernah gue taksir.

Tapi Wanda nggak bisa. Dia pernah senyum ke gue pas gue lagi motret narasumber dia. Terus tiba-tiba aja dia ngomong ke narsumnya, gini, "Mba itu yang moto pacar saya. Ganteng kan? Suka pusing saya kalau dia ganteng banget."

Gila kan. Gue ya pasti blushing. Apalagi,narsumnya justru balik menggoda gue dan Wanda yang dibilang cocok. Ya jelas cocok, kan ganteng sama cantik. Uwu. Si Wanda senang banget digoda kaya gitu. Kalau gue rada gimana gitu kaya nggak enak.

Tapi di balik itu semua untungnya Wanda kalau udah wawancara ya pasti fokus dengan pekerjaannya. Baru setelah selesai wawancara, jayusnya kumat. Tingkahnya memang se-absurd itu. Tapi anehnya gue suka. Gue nyaman sama dia yang petakilan gitu.

Suatu hari, saat gue sama dia ada dikantor, dia dipanggil sama Mas Agung. Jadi ada naskah yang nggak lolos edit. Kalau nggak salah pembahasan soal lahan hijau di Jakarta. Sayangnya karena Wanda belum terlalu paham sama wilayah DKI Jakarta, dia tidak merampungkannya dengan baik.

Mas Agung yang memang bertanggung jawab atas halaman tersebut menegur langsung Wanda di seluruh hadapan staf redaksi termasuk gue. Tahu apa yang dibalas Wanda di depan Mas Agung?

Gue bakal kasih tahu.

Jadi dia jawab, "Waktu itu aku pergi sama Bekti Mas.." kata Wanda memelas.

Bekti yang ada di samping gue menunjuk dirinya sendiri, "Gue? Kok gue dibawa?" kata dia nggak percaya. Gue membalasnya dengan mengendikkan bahu.

"Kenapa jad Bekti? Bekti kan photographer, kamu yang nulis," sahut Mas Agung, tidak terima dengan apa yang dikatakan oleh Wanda sebagai pembenaran.

"Nggak bisa aku kalau sama Bekti. Otakku melempem Mas, nggak berkembang. Nggak kreatif."

Mendengar kalimat itu gue menautkan alis, Wanda memang suka mengeluarkan kalimat di luar ekspetasi. Tapi gue baru tahu kalau Wanda berani mengatakan kalimat-kalimat itu di dalam forum seperti ni.

"Ngeles aja kamu," kata Mas Agung menyerah.

"Aku serius mas. Kan dari awal aku maunya Charis. Tahu sendiri, kepala aku jalan kalau liputannya bareng sama Charis."

Tentu saja, anak-anak pada godai gue karena Wanda bilang gitu di forum. Mas Agung yang tadinya bete, tiba-tiba berubah menjadi terhibur. Wanda memang bukan hanya moodbaster buat gue. Tapi rakyat se-kantor.

Setelah rapat, gue tentu saja balik bareng dia. Selama di perjalanan gue tanya dia kenapa dia nggak bisa kerja bareng yang lain? Padahal kan sama aja kalaupun yang motretnya gue. Terus dia jawab, yang tentunya selalu bikin gue kaget sekaligus senang.

"Sama kamu, emang aku pusing. Soalnya kamu ganteng banget. Tapi kalau nggak ada kamu, aku tambah pusing. Kangen terus soalnya."

Gue lagi-lagi cuma bisa ketawa. Kadang gue bingung, kapan dia merasa sedih atau resah. Karena selama ini, bahkan hampir dua bulan dia jarang memperlihatkan kesedihannya.

Gue mengusap rambutnya dengan sebelah tangan masih mengatur kemudi. "Kamu juga cantik. Bikin aku sayang terus."

Nggak tahu deh, gue bisa menemukan kalimat itu dari mana. Karena gue merasa belakangan gue sudah terinfluence sikapnya Wanda yang baik dan penuh pesona.

.

Gue sama Wanda memutuskan ke sebuah supermarket yang berada di kawasan Shinjunku untuk mencari pakaian musim dingin. Seperti apa yang disarankan Wanda gue benar-benar nggak bawa baju. Sebagai gantinya oleh-oleh yang akan gue berikan adalah baju kotor. The real baju kotor.

"Philip," suara Wanda muncul di samping gue yang sedang memilih makan malam instan yang akan kami buat di kamar hotel.

Gue menoleh ke arah dia. Lalu melihat ke arah kanan dan kiri. "Kita nyari lampu philip?buat apa?"

Dia menggeleng, lalu memperlihatkan sebuah tampilan informasi di layar ponselnya, "Akukan Aurora. Berarti kamu Pangeran Philip."

Gue menautkan alisnya, "Jadi namanya Pangeran Philip?" tanya gue, yang sejujurnya tidak suka dengan panggilan tersebut.

Tapi Wanda tidak. Dia justru terlihat sangat senang dengan panggilan Philip yang sangat terdengar seperti sebuah nama merek lampu yang terangnya kadang menyakiti mata gue. Maklum gue lebih suka lampu kekuningan karena rasanya lebih aesthetic aja.

Dia mengangguk membenarkan bahwa gue kali ini akan berperan menjadi Pangeran Philip. Dan sepertinya gue harus punya stok sabar lebih kali ini. Mengingat sejak awal, Wanda melakukan banyak skinship.

"Tapi aneh nggak sih Nda, kalau aku jadi Philip. Kan itu merek lampu," keluh gue yang berusaha menemukan tokoh lain yang mungkin lebih cocok ke gue.

"Nggak kamu udah pas pake nama Philip gitu. Udah cocok banget," dia bergelayut di tangan gue lalu meletakkan kepalanya di lengan gue.

Di jarak tersebut gue punya PR yang sangat sulit gue lakukan. Salah satunya adalah mengatur irama jantung gue yang selalu aja nggak normal ketika dia bareng sama gue. Dan Wanda nggak pernah memahami betapa besar atensi dia di dalam hidup gue.

"Cocok gimana sih, emangnya aku lampu apa," gue masih protes.

"ssst," desis dia, telunjuknya dia letakan di depan bibir gue. Dia mandang gue. Gue semakin degdegan. "Udah pas, Shining Shimering Splendid kamu tuh pas kaya lampu Philip kan," ujar dia.

Gue cuma bisa geleng-geleng. Karena setelah itu dia pergi dari gue kemudian berlari ke sudut supermarket tersebut. Kemudian menggumamkan sebuah rangkaian lagu yang belakangan suka gue dengar di radio. Originas Soundtrack nya Alladin.

Tapi dia tiba-tiba berhenti, lalu membalikkan tubuhnya, menatap gue. "Satu lagi kamu mirip Philips."

Gue membulatkan mata gue, "Apa?"

"Tinggi."

Gue tahu konten tinggi bukan diberikan dari tokoh pangeran bernama Philip. Tapi, lampu Philip yang memang digantung tinggi di atap. Gue nggak marah meskipun Wanda memang sedan mengejek gue. Sebaliknya gue senang. Nggak tahu kenapa. Senang banget, Wanda bisa mengisi hidup gue yang biasa-biasa aja ini. 

Tidak Ada Jam KerjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang