8

664 177 72
                                    

Tolong ingatkan gue, sudah berapa kali gue bilang kalau Wanda cantik. Gue pikir, pesona dia bakal berubah ketika gue sudah menerima dia sebagai seorang kekasih. Misalnya, pesonanya berubah menjadi biasa aja? Ternyata nggak.

Setelah kurang lebih sebulan, dari akhirnya gue sepakat jadian seperti apa yang dia minta. Kita akhirnya berangkat ke Jepang. Selama sebulan itu juga dia benar-benar belajar Bahasa Jepang. Supaya kita di sana nggak perlu menyewa penerjemah seperti apa yang diminta Mas Agung.

Belakangan Gue semakin memahami kebiasaan Wanda yang sering tidur di dalam pesawat. Dan akan bangun sekitar 20 menit sebelum tiba di bandara tujuan. Sama seperti sekarang, ketika gue sedang berusaha mengeratkan sabuk pengamannya, dia bangun.

"Udah mau sampai?" kata dia di tengah rasa kantuk yang melanda. Dia mengucek matanya, lalu berusaha membukanya dengan berat. Wajahnya yang baru bangun tidur itu sangat menggemaskan.

"Sebentar lagi cantik, kalau mau tidur lanjutin aja," kata gue membiarkan dia istirahat lebih lama.

Tanpa disangka-sangka, dia menarik tangan gue, agar gue bisa lebih dekat dengannya. "Aku mirip Aurora nggak?" bisik dia.

Gue menautkan alis, "Rachel Amanda Aurora, artis itu?" gue nggak benar-benar yakin dengan jawaban gue.

Dia berdesis, "Bukaaan, itu loh sleeping beauty. Nama putrinya kan Aurora."

Gue menarik lengan gue, tapi dia tahan, jadi tubuh gue masih condong ke arah dia. "Iiih, lihat, mirip nggak," dia ngomong gitu masih dengan memejamkan mata. Membuat gue semakin bingung.

"Aku nggak tahu. Belum nonton Sleeping Beauty. Kenapa deh?"

"Aku lagi jadi Aurora," kata dia singkat.

Gue kembali memcingkan mata ke arahnya, "Terus?"

"Cium dong, biar bangung."

Astaga. Gue udah mau garuk-garuk kepala. Kewalahan dengan jayusnya Wanda yang sangat mendadak. Lagian, bisa-bisanya dia menjaili gue di saat dia baru bangun tidur.

Tapi, ya pada dasarnya apapun yang dikatakan Wanda tetap bakal gue wujudkan. Gue mencondogkan tubuh gue agar bisa mencium keningnya. Membangunkannya dengan cara yang dia inginkan.

Sesaat setelah gue mencium keningnya, dia membuka matanya, menatap gue. "Ingetin aku nanti kalau udah sampai di bandara," dia mengerjapkan matanya, manis. Sangat manis.

"Ingetin apa?" gue nggak bisa lama-lama dalam posisi itu, jadi gue kembali duduk tegak. Selain agar tidak merusak postur tubuh, sekaligus memastikan gue masih bisa hidup. Tahu sendiri, semakin dekat jarak kami, maka semakin lemah juga detak jantung yang gue miliki.

"Ingatin aku, nyari di google, nama pangerannya, Aurora."

Baru selesai kami menghabiskan drama Rahul dan Anjali. Sekaran Wanda sudah menyiapkanku dengan panggilan lain. Tapi, rasanya, apapun yang akan dia jadikan nama panggilan untukku. Selalu terdengar manis.

"Siap tuan putri," kataku pada akhirnya diselingi ciumap pada pipinya. Membuat sembura merah keluar dari sana. Wanda yang manis. Yang sekarang milikku.

.

Gue selalu berlatih untuk bisa menerima semua gombalan yang keluar dari bibir Wanda. Suatu hari, gue baru selesai liputan di kawasan Thamrin. Karena dekat dengan kantor, gue memutuskan balik ke kantor.

Dan kebetulan di kantor ada Wanda dan Bekti. Kita ketemu di lobi,di tempat kopi. Tempat pertama kali gue ketemu sama Wanda. Dan pas juga ada Bekti di sana.

"Aku pengen kopi panas deh," kata gue muncul tiba-tiba di tengah-tengah mereka.

Wanda itu selain dia usil ternyata juga care. Jadi gue tuh bilang gitu memang mau minta beliin dia. Malas antri. Terus ya dia menyediakan diri untuk antri buat gue.

Tapi bukan Wanda kalau dia langsung pergi. Dia tetap berdiri di samping kursi gue, dan menjulurkan tangannya. "Mana uangnya, sini."

Gue pikir dia mau beliin kopi gue pakai uangnya juga. Ternyata masih harus minta ke gue. Membuat gue berdecak. "Ngakunya, kerja di luar negeri. Tapi kopi aja masih minta uang."

"Aku punya ya uang banyak. Tapi mata uang kazakhstan di sini nggak laku," dia menarik uang 50 ribuan gue. Lalu pergi begitu saja setelah mendengus ke arah gue.

Bekti di hadapan gue cuma mengendikkan bahunya. "Manis banget lo sama Wanda. Tapi anaknya memang lucu sih, akrab sama siapa aja," kata dia.

Gue selalu merasa khawatir, soal sikap Wanda yang akrab dengan siapa saja ini. Dia kadang nggak bisa bedain mana teman yang memang benar-benar baik. Dan mana yang nggak.

Ketika gue tanya kenapa, dia selalu pintar menjawab dengan kalimat, "Aku yakin, orang jahatpun bakal baik kalau kita baikin." Ya sebenarnya gue ngga setuju, tapi, lagi-lagi gue nggak bisa melawan. Karena orang yang sedang gue hadapi adalah Wanda.

"Itu salah satu hal yang gue suka sama dia sih, baik, terus ya nggak perhitungan. Cuma emang rada pelit. Liat aja, nggak mau dia kalau uangnya kepake sama gue."

"Ya wajar sih, lo kayak nggak kerja aja, tahu sendiri lah kalau kerja, capeknya kaya gimana. Lagian juga duit lo banyak ini," kata dia.

"Banyak dari mana sih, ngaco," Bekti memang suka melebih-lebihkan. Padahal dia tahu gaji gue sebulan berapa.

"Gue tahu ya kerjaan bokap lo. Berapa mobil yang ada di garasi lo. Motor apa yang paling murah di sana. Gue tahu, jadi jangan ngelak."

Mulai deh, gue suka bingung sama orang-orang yang selalu antusias sama harta yang dimiliki bokap atau nyokap. Padahal gue nggak pernah berkontribusi apapun untuk membeli harta tersebut.

"Dan lo kayaknya tahu deh, kalau itu semua punya bokap gue?"

"Ris, lo anak cowok satu-satunya. Yura udah nikah, stay di Riga. Terus pasti yang nerusin perusahaan bokap lo ya lo lah," gue nggak tahu sejak kapan Bekti jadi konsultan keluarga gue.

"Tapi gue nggak tertarik. Udah ya, nggak usah membahas sesuatu yang bahkan nggak penting untuk dibicarakan," kata gue.

Dan Bekti biasanya akan menyerah untuk membahas hal tersebut. sementara Wanda yang sudah selesai memesan akhirnya tiba di tengah kami. Mencairkan suasana.

"Tegang banget itu. Bang Bekti kenapa jadi ketus gitu mukanya?"

"Masa sih, biasa aja ah Nda, muka gue kan memang kaya gini dari dulu. Cool gitu bukan ketus."

Sumpah sih, Bekti narsis abis. Semua orang juga tahu kalau dia itu nggak ada cool nya sama sekali. Banyak tingkah kaya Wanda, ngaku cool. Ewh.

Gue melihat gelas kopi yang sudah dipesan Wanda di atas meja. Dan menemukan sebuah keanehan yang akurat. "Nda, bukannya aku pesan kopi panas ya?"

Wanda mengangguk. Artinya, dia sebenarnya tahu apa yang gue minta dan gue pesan. "Terus kenapa jadi Ice Coffee gini?"

Wanda menoleh ke arah kopi itu sambil tersenyum. Kemudian jemarinya menelusuri jemari gue. Membuat gue melongo. Tidak mengerti dengan apa yang sedang dia lakukan.

"Udah panas kan sekarang? Aku kan membawa kehangatan dalam hidup kamu. Kalau kamu minum kopi panas, terus nanti kerjaan aku untuk hidup kamu apa?"

Gue nggak tahu deh, raut wajah gue udah kaya apa. Wanda suka kebiasaan jayus tiba-tiba. Dan kalimatnya itu tidak pernah terduga. Dan sekarang lihat aja, Bekti sudah menahan tawa. Sementara gue hanya mendengus karena merasa sesak napas. 

.

Ini kenapa Wanda bisa sejayus ini di sini astaga T.T

Mbak Wanda kambek gayyyys mau nangis dulu aku.

Tidak Ada Jam KerjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang