10

672 164 74
                                    

Satu hal yang sering kali gue protes dari Wanda adalah. Dia suka banget pake baju kerah sabrina. Gue suka protes karena bahunya yang cemerlang itu terlihat oleh sipapun. Padahal, Wanda adalah hak milik gue.

"Tapi kan cantik," kata dia pas gue nyoba buat jaketin dia.

Ya cantik sih. Lagian kapan sih dia nggak cantik. Dia pakai mukena aja cantik. Dia pakai cadar aja cantik. Ya kan emang gur diciptakan buat memuja dia yang cantik dari ujung rambut ke ujung kaki.

"Cantik kan nggak perlu pakai baju kayak gini. Diliatin orang emangnya ngga risih?"

Diceramahin gitu, Wanda bukannya nurut justru gelayutan di tangan gue. Sambil bilang, "kan aku pengen gitu dibilang, ih pacarnya Charia cantik, putih bersinar," gue tahu ya, dia sedang meniru salah satu iklan skincare.

"Tapi aku nggak bangga sama predikat itu. Aku nggak rela ya bagi-bagi kulit kamu ini ke mereka."

"Ih pantes pelit."

Gue menautkan alis, "Ya harus lah pelit. Kamu kan pacar aku. Ya kali aku mau bagi-bagi pacar," gue sungguh-sungguh dengan kalimat ini. Nggak tahu kalau dia.

"Kamu kayaknya suka banget ya sama kulit-kulitan sampai kulit aku aja kamu pelitin," dia berusaha melepas jaket yang gue sampirkan di tubuhnya. Tapi gue tahan.

Bukan cuma gue sayang dia. Tapi ini juga demi kepentingan gue. Wanda dengan baju sabrina di dekat gue adalah ujian paling besar yang pernah ada. Gue harus menahan diri untuk nggak melihat ke arah bahu mulusnya dia. Nggak menyentuh dia. Nggak merangkul dia. Karena gue takut khilaf.

"Aku cuma nutupin kulit kamu aja kok bahas aku suka kulit-kulitan? Nggak nyambung."

"Nyambung kok," sahut dia santai. Kali ini dia lebih rileks menerima jaket gue yang besarnya minta ampun. Tapi justru membuat dia terlihat menggemaskan.

"Nyambung dari mana sih. Kamu tuh emang suka ngada-ngada," ya harusnya gue nggak perlu bilang gitu. Wanda punya nama tengah berulang. Nama lengkapnya, Wanda ngada-ngada Sonia.

"Kemaren kulit KFC kamu di sisain. Trus aku makan. Kamu marah. Kayaknya kamu terlalu obsesi dengan kulit-kulitan."

Kan benar.

Gue menarik kepala dia, menempelkannya ke dahi gue, "Wanda, pacarku yang cantik. Itu bedaaaaaaa. Haduuuh kamu nih."

Dia ketawa kecil. Tubuhnya bergetar karena ketawa. Buat gue nggak tahan buat cium dia. Ya akhirnya gue cium sih. Abis manis dan lucu. Siapa coba yang kuat?

"Sama aja kulit," sahut dia.

"Yaudah sini kulit kamu, sini aku makan," gue buka jaket gue yang dia pakai. Karena dia berontak, bajunya merosot lebih rendah. 

Terus dia juga ikutan panik. Langsung pakai lagi jaketnya, lalu membenarkan baju yang tadi tersingkap. Memperlihatkan kulit lain yang lebih mulus.

"Aku hampir ternodai," kata dia tiba-tiba.

Gue memejamkan mata. Mau tertawa tapi situasi bukan harus ditertawakan. Mau marah, gue juga kayaknya menikmati. Walaupun khilaf. Gue jadi serba salah.

"Halah, mau juga kan kamu aku pegang-pegang? Lagian aku bilang jangan pakai baju itu. Aku aja yang sayang sama kamu jatohnya bernafsu. Apalagi orang lain."

Dia diam. Tahu kayaknya gue marah beneran. Gue yang sedang berusaha membenarkan baju gue yang kusut, lalu melepas sabuk pengaman mobil. Lalu memutar tubuh gue ke arah Wanda yang diam.

Nggak lama, Wanda memejamkan mata. Lalu menarik napas. Setelah itu dia menatap gue, "Bukan maksud aku Rhoma. Bukan maksud aku menggoda kamu dengan pakaian seperti ini."

Tidak Ada Jam KerjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang