53 (½)

862 155 50
                                    

Untuk semua yang telah bersedia membaca dan memberi dukungan pada cerita ini—terima kasih, itu luar biasa ꈍ .̮ ꈍ

.

.

.

.

.

.

Ketika Taeyong membuka mata, sakit di kepala adalah hal pertama yang dia rasakan, dan baru menyadari terdapat lilitan perban di sana saat berusaha menahan pusing dengan satu tangan. Ia mengedarkan pandang, menemukan Jaehyun tertidur bersandar pada ranjang dengan lipatan tangan yang dijadikan bantalan. Kelihatan nyenyak dan tidak terganggu akan posisinya yang sesungguhnya melelahkan.

Selesai menyimpan potret pria itu dalam ingatannya, Taeyong terdiam. Ditelan kebingungan begitu akhirnya tersadar eksistensi Jaehyun di kamarnya bukanlah yang seharusnya, lantas mengapa gerangan kini berdiam di sampingnya?

Sensasi kering pada tenggorokan menjadikan pikiran itu binasa dengan cepat, memaksa Taeyong untuk meraih segelas air putih di atas nakas. Berusaha bangkit, tetapi malah menimbulkan satu erangan sakit karena pergerakannya yang mengejutkan—entah mengapa tulang pipinya cukup nyeri untuk bersuara meski sedikit.

"Emh. Haus ya?" Taeyong berjengit mendengarnya. Ia mendadak takut melihat si pemilik suara berat lantas membantu dirinya untuk duduk, sedangakan tangan lain pria itu liar meraba-raba nakas untuk mengambilkan apa yang Taeyong butuhkan dengan masih terpejam.

Setelah menerima gelas dengan baik, diamatianya Jaehyun yang kini menguap lebar, kembali pada tempatnya berdiam semula, dan barulah mulai membuka mata—sehingga Taeyong dapat meneguk air minum dengan tenang.

"Syukurlah kau sudah sadar, Taeyong." Si dokter menjawabnya dalam satu dengung panjang. Ia menurunkan gelas dari wajahnya setelah menenggak habis isinya.

Ganti, kini tarikan napas yang mengudara. Jaehyun sendiri tidak bergeming mencari-cari ponselnya untuk mengetahui pukul berapa sekarang. "Satu pagi," ujarnya. Jaehyun bertumpu dagu, menatap Taeyong dengan wajah berantakan khas bangun tidur. Taeyong menangkap balik manik pria itu, membawa mereka pada kubangan angan yang mulai bercampur aduk. Akan tetapi terputus begitu Jaehyun mengalihkan pandang lebih dulu, kemudian melepas dengung berat dan berdiam sebentar, seolah sedang menimbang-nimbang apa yang akan ia utarakan.

"Pelipismu robek setelah terkena ujung kaca meja makan karena dihantam Johnny tepat di pipi, kau punya tiga jahitan, dan kau tidak sadarkan diri nyaris delapan jam," akhirnya.

Pria itu berkata sembari menelusuri lekuk jemarinya sendiri dengan raut yang sarat akan makna. Taeyong hanya mengangguk-angguk, sama sekali tidak terkejut pun tidak memikirkan itu. Bibirnya terbuka, ingin mengungkapkan sesuatu, tetapi kembali menutup, sebab dipenuhi ragu. "Jeff, itukah—"

Tidak sampai membuat Taeyong menyelesaikan kalimatnya, Jaehyun menyela bersama helaan napas, "Aku? Ya. Yah—tentu saja." Ada sedikit getar putus asa yang mampu Taeyong tangkap dari situ. Namun tiba-tiba khawatir akan keadaan tiga orang yang membuatnya mengetahui fakta membingungkan kini kembali memenuhi pikirannya, telak mengalahkan anomali yang berasal dari si pria.

Keheningan lagi-lagi menyapa, tetapi tidak begitu lama, sebab akhirnya Taeyong bertekad untuk mengutarakan keingintahuannya bila memang diizinkan. "Jaehyun, boleh aku bertanya?" ujarnya tergagap-gagap.

Pria tampan itu memandang Taeyong dengan alis kanan terangkat, "Ya. Kau baru saja melakukannya?" terdapat nada jenaka penuh paksaan yang ditampilkan dalam kekehannya di akhir kalimat. Sayangnya sama sekali membuat Taeyong tidak mampu menghentikan kerlingan gugup, "M—maksudku, aku ingin tahu mengenai masalah kalian...."

1 4 3  [JAEYONG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang