123 (½)

605 127 16
                                    

Taeyong mengikat simpul tali sepatu tingginya. Ia mengunci pintu garasi dan berbelok ke kanan, menemukan Yuta berguling-guling bersama empat ekor anjing di tanah. Pria itu terkekeh-kekeh seirama dengan gonggongan para anjing yang menginjaknya di sana-sini.

"Hey buddy!" Taeyong menghampiri Clumsy yang anteng di dekat dinding rumah, sama sekali tidak tertarik untuk mengikuti saudara-saudaranya bermain dengan pria yang lebih banyak mengurus mereka. Mengusak surai anak serigala itu penuh sayang, mengundang geraman lirih disela deret giginya.

"Hai juga, Cantik!"

Sahutan yang berasal dari pria tidak jauh darinya itu berhasil membuatnya mengerling agak malas. "Aku tidak bicara padamu loh," katanya. Yuta memberengut, Taeyong yang melihat bibir merekah itu turun rasa-rasanya takut kalau itu akan jatuh ke tanah. "Di antara makhluk hidup yang ada, di saat manusia yang dapat kau ajak bicara dengan bahasa ibu kenapa malah memilih Clumsy...," ujarnya seolah merajuk. Empat ekor anjing lain sedang menikmati isi dari mangkuk mereka yang entah sejak kapan ada di sana, Taeyong tidak menyadarinya.

Taeyong menghela napas dalam-dalam, tidak peduli sih, sebenarnya. "Tidak biasanya kau serapih ini. Ingin pergi?" Yuta bangkit menuju jendela dapur, setengah badannya melongok masuk meraih sesuatu. Taeyong menunggu dengan masih memberi usapan hangat pada rambut abu milik si anak serigala. "Ja. Ini bagianmu," Yuta meletakkan mangkuk berisi daging ke hadapan Clumsy.

"Butuh aku antar?" Tawar pria itu sembari mengikat ulang surai panjang keperakannya. Belum sempat Taeyong menjawab, Bonggo menghampiri dirinya dengan bola karet merah kesayangan yang diapit oleh taring-taringnya, menyodorkan pada Taeyong untuk bermain lempar tangkap dengannya. "Maaf ya, sekarang aku tidak bisa, lebih baik kau kembali makan, mengerti?" Yuta tertawa ketika anjing besar itu mendengking lesu, sedangkan Taeyong mengusap dagunya untuk menghibur.

"Oh yah," ia menoleh pada Yuta, "itu tidak perlu. Aku pergi bersama Jaehyun."

"Apa kalian pergi berkencan?" Lanjut pria itu agak terkejut dan berhasil membuat Taeyong gelagapan, "Tidak! Ah—tentu tidak."

Namun si pria Jepang mengernyit skeptis, "Hmh. Baik, katakan itu pada seseorang yang tidak memiliki bagian untuk pergi ke kota kecuali ada yang memintanya ikut." Taeyong menyikut Yuta tepat di perut, menimbulkan ringis sakit dari pria yang berada di sampingnya itu. Masih dengan telapak tangan yang mengusap bagian yang berdenyut, Yuta menyeletuk, "Seingatku juga hari ini tidak ada jadwal untuk ke kota, wajar kalau kupikir kalian pergi kencan...."

Taeyong mengerling malas, "Yah terserah kau sajalah. Kami akan segera berangkat." Mengetahui dirinya akan segera ditinggalkan, kurva yang terbentuk pada bibir pira bersurai perak tersebut turun, melengkung ke bawah, sok imut. "Apa ada sesuatu yang kau butuhkan?" Kemudian kembali sumringah begitu cepat dan Yuta menyahut penuh semangat, "Ada! Ada! Tolong mampir ke rumah Bibi Dei dan ambilkan barangku—bilang saja titipan Yuta, oke?"

"Apa ada lagi?"

"Itu saja kok, tolong ya, Cantik." Balas pria itu mengulas senyum. Taeyong bergumam mengerti. Ia melirik wajah lawan bicaranya itu sekali lagi, dan kemudian menunjuk pipi kanan miliknya dengan risih. "Hei, ini." Itu mengundang raut tidak mengerti dari pria yang lain. "Di sini," ulangnya. Selanjutnya keadaan berbalik menjadi dirinya yang mengernyit bingung sebab menemukan Yuta dengan wajah yang entah mengapa bersemu. "Kena—" kecupan basah sampai ke permukaan kulit pipi, total memutus kalimat dan mengambil setengah dari kewarasan. Taeyong hampir melayang, nyawanya. "Bukan itu maksudku, bodoh! Di pipimu—ada lumpur!" Sentaknya tergagap. Romannya berubah kecut seiring ketika ia memukul kepala Yuta, tetapi si empunya malah terbahak dan menjatuhkan diri berguling di tanah, "Maaf—maaf. Kau sih, membuatku salah paham~"

1 4 3  [JAEYONG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang