Part 17

528 36 3
                                    

Lengkung senyum tercetak indah dari bibir Laila, kala mengingat kejadian tadi malam, di mana Adnan meminta haknya sebagai seorang suami. Melihat ekpresi kecewanya sangat menggemaskan dan terlihat lucu, membuat Laila bisa melupakan sedikit rasa gundah di hatinya.

Laila cukup mengerti dengan sikap mama mertua. Orang tua mana yang rela bila putra kesayangannya menikah dengan gadis lumpuh seperti dirinya. Tentu saja semua orang tua tidak menginginkan itu terjadi pada putra dan putri mereka, karena itu akan sangat merepotkan untuk pasangannya.

Semenjak tahu kalau Elsa tidak menyukainya. Laila mulai belajar hidup mandiri, tidak pernah membiarkan orang lain mendorong kursi rodanya. Sebisa mungkin dia juga yang menyiapkan menu memasak untuk sahur dan berbuka puasa, sesekali dibantu Bi Siti, asisten rumah tangga di rumah ini.

Pagi-pagi sekali Adnan sudah berangkat ke rumah sakit. Begitu pun dengan Risa, ia berangkat lebih awal dari Adnan, karena ada tugas kampus yang harus ia kerjakan bersama sahabatnya.

Tak lama setelah suami dan adiknya berangkat. Laila memberanikan diri menghampiri mama mertuanya yang tengah duduk di depan televisi, mungkin inilah waktu yang tepat untuk mengenal lebih dekat perempuan yang telah melahirkan suaminya itu. Laila melempar senyum, mencoba untuk menghangatkan suasana.

"Mama ingin kumasakkan apa untuk berbuka puasa nanti?" tanya Laila mencoba mengakrabkan diri.

"Tidak perlu! Urus saja dirimu sendiri," balas Elsa tanpa menoleh sedikit pun pada menantunya.

"Mengapa Mama tidak menyukai Laila? Adakah alasan lain selain karena kulumpuh dan miskin?"

"Sana pergi, tidak usah menggangguku!"

Astagfirullahalazim, ingin rasanya Laila menjerit sekeras mungkin, agar rasa sesak di hatinya sedikit berkurang. Namun, ia masih mampu menunjukkan senyum tulusnya untuk membalas ucapan sang mama mertua. Walau bagaimanapun Laila sadar untuk merengkuh sebuah kebahagiaan itu tidaklah mudah. Harus memiliki kesabaran dan keimanan penuh dalam diri.

Bel rumah berbunyi, Laila berniat untuk membuka pintu.

"Aku saja yang akan membuka pintu, takut tamu penting. Nanti apa tanggapan mereka, kalau sampai tahu kalau menantuku seorang yang lumpuh!"

Butiran air mata kembali menetes di pipi. Perkataan Elsa telah berhasil mengoyak-ngoyak hatinya. Kelumpuhan dan kemiskinan membuat dirinya begitu hina di mata mama mertuanya.

Laila menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Ia mengulangnya beberapa kali, hingga suasana hatinya sedikit membaik.

Diam-diam Laila mengintip dari ruang tamu, penasaran siapa gerangan yang bertandang ke rumah mama mertuanya. Kedua netranya mendelik sempurna, saat melihat seseorang yang tengah berdiri di depan pintu. Wanita yang sama dengan wanita yang pernah ia lihat di kafe bersama Adnan.

"Rianti!" pekik Elsa terkejut.

"Tante, apa kabar?" tanya Rianti seraya memeluk Elsa.

"Alhamdulilah baik, kamu sendiri gimana? Ke mana saja kamu selama ini." Elsa mengajak Rianti masuk dan duduk tak jauh dari Laila.

"Saya juga baik, Tante. Oh iya, Adnannya ada?"

"Dia sudah berangkat ke rumah sakit. Ada apa? Jangan-jangan kamu merindukan putraku, ya," goda Elsa.

"Ah, Tante bisa saja!"

Mendengar keramahtamahan Elsa pada wanita itu, menghadirkan rasa sesak tersendiri di hati Laila. Tak ingin menambah rasa sakit di hatinya, ia berniat untuk masuk ke kamar. Namun, Elsa memanggilnya, sehingga ia memutar kembali kursi roda untuk menghampiri mama mertuanya.

Istikharah Cinta Laila (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang