Epilog

7.1K 444 49
                                    

Gevan bersimpuh di hadapan gundukan tanah yang sering ia datangi setiap hari minggu. Mengusap nisan yang bertuliskan nama adik kembar nya, Gevino Diplosca Bagaskara.

"Vin, gue udah sarjana."

Gevan tersenyum lebar. Terhitung sudah 4 tahun sejak Vino pergi meninggalkan nya sendirian. Pergi setelah ia berjanji untuk menjaga Gevan dan menemani Gevan hingga Gevan sembuh.

"Gue masih inget banget lo dulu bilang kalo lo mau nemenin gue sampe gue sembuh.." Gevan mulai membuka percakapan yang akan hanya diisi oleh dirinya sendiri. Sedangkan Vino sudah tenang terlelap dibawah gundukan tanah ini.

"Gue tau lo pengen banget gue sembuh, tapi bukan dengan relain hidup lo demi gue Vin.."

"Vino dimana, Ma?" Gevan mengedarkan pandangan setelah sekitar 7 jam ia terlelap dari tidur.

"Udah tiga hari semenjak Gevan selesai operasi Vino gak pernah dateng. Mama sama Papa ngelarang Vino buat dateng jenguk Gevan ya?" Iris mata Gevan kini teralih pada kedua orang tua nya yang berdiri mematung disamping nya.

Delima berjalan menghampiri Gevan, memeluk anak sulung nya. Mengecup puncak kepala Gevan sebelum berkata pelan, "Vino udah gak ada Ge.."

Gevan terkekeh kecut, "Gak lucu banget, Ma. Mana handphone Gevan? Gevan mau telfon Vino. Pasti sekarang dia lagi ada di warung belakang sekolah sama Reza Genta."

Delima menggeleng, "Vino udah meninggal sejak tiga hari yang lalu, Vino nyerahin diri ke musuh nya dan donorin jantung dia buat kamu Ge." Delima berkata dengan lembut, kembali mengusap halus puncak kepala Gevan. Hati nya berdenyut. Sakit sekali. Delima menyesal. Bahkan di akhir hayat putra nya itu, Delima belum sempat memeluk Vino dan mengatakan bahwa ia begitu menyayangi Vino.

"Gak mungkin, Ma. Gevan udah bilang kalau bercandaan Mama itu gak lucu!" Gevan mulai memberontak. Mencoba melepas pelukan Delima yang malah semakin erat mendekapnya.

"Lepas Ma! Gevan mau samperin Vino. Gevan mau bilang kenapa dia gak kesini, pasti sekarang dia lagi nyebat. Gevan mau bakar aja rokok nya. Lepasin Gevan, Ma!"

"Vino udah gak ada Ge! Meninggal! Adikmu meninggal!" Kini giliran Bagas yang berucap. Meremas kedua bahu Gevan, meminta anak sulung nya itu menatap mata nya.

"Papa sama Mama juga terluka, Ge.. kita gak nyangka secepat ini Tuhan jemput Vino. Kamu harus ikhlas, Vino bakal bahagia kalau kamu bisa terima kepergian dia." 

Gevan terdiam. Mengalihkan pandangan. Menatap kosong pada dinding rumah sakit.

Apa tadi katanya?

Vino pergi?

Vino mendonorkan jantung nya untuk Gevan?

Vino bodoh! Sialan!

"Kenapa Papa biarin aja Vino ngelakuin itu?! Kenapa Papa gak berusaha nahan Vino?! Sebenci itu Papa sama Vino sampai biarin Vino pergi gitu aja?!" Gevan menatap marah ayah nya, menyerbu Bagas dengan pertanyaan bertubi yang membuat Bagas terdiam. Seketika Bagas merasa lemah. Lidah nya kelu. Hidup nya saat ini penuh dengan penyesalan.

Gevan mencengkram kemeja maroon yang digunakan oleh Bagas, menyadarkan Bagas yang tenggelam dalam lamunan tanpa menjawab satupun pertanyaan Gevan. "Kenapa Papa diem aja?! Papa jahat! Papa keterlaluan!"

Delima yang melihat anak nya mengamuk lantas langsung menarik Gevan dalam pelukan nya, menggenggam tangan Gevan agar menjauh dari ayah nya.

Different ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang