Different -12-

4.4K 379 25
                                    

Vino bergerak gelisah. Mata nya terfokus hanya pada pintu ruang UGD yang menutup. Mulut nya terus bergumam merapal doa. Barangkali tuhan masih mau menerima permohonan lirih dari sang brandal yang bahkan tidak pernah berfikir  untuk taubat.

Vino melirik sekilas pada handphone nya. Tidak ada jawaban baik dari ibu maupun ayah nya. Entah mereka sedang dalam perjalanan kemari atau memang mereka enggan barang hanya untuk membuka pesan dari anak durhaka seperti Vino.

Vino menelfon Reza, berharap sahabat nya itu datang bersama Genta ke rumah sakit. Setidaknya Vino bisa sedikit lebih tenang kala ia ditemani dalam keadaan seperti ini.

"Halo? Apaan?" Saut Reza di sebrang sana kala telfon sudah tersambung.

Vino terdiam. Lidah nya terasa beku.  Sulit sekali rasanya barang untuk bicara tentang keadaan dirinya dan Gevan saat ini.

"Vin diem aja? Tumben banget lo nelfon." Reza kembali berbicara saat beberapa detik Vino tak berbicara apapun.

Vino menarik nafas dan menghembuskan nya perlahan. Mengulum bibir nya yang kering dan berkata dengan suara serak, "Gevan masuk rumah sakit. Lo kesini sama Genta, temenin gue."

"Anjing serius? Kok bisa masuk rumah sakit? Kenapa? Lo berantem sama dia lagi? Rumah sakit mana?"

"Vin?"

"Halo?"

"Nanti gue sharelock." Ucapan terakhir Vino sebelum ia mematikan telfon nya.

Tangan nya beralih pada room chat aplikasi WhatsApp Reza, mengirim alamat rumah sakit dan kembali menutup handphone nya. Menatap nanar pintu ruang UGD yang masih setia menutup.

Sudah dua puluh menit dan dokter belum juga keluar dari ruangan. Apa sesulit itu membersihkan luka? Vino yakin, Gevan hanya terluka dan pingsan karena kaget. Bukan karena luka dari dalam atau pengaruh dari sakit jantung nya.

Vino menduduki diri nya di kursi tunggu. Menunduk menatap sepasang kaki nya yang bergerak gelisah. Bibir nya bergetar. Jantung nya berdegup tak karuan. Mengepal tangan, terus merapal doa. Memohon dan memohon.

Derap langkah kaki terdengar tergesa menghampiri dirinya. Vino mendongak, iris mata nya menemukan pria tua baya sedang menatap nya penuh marah. Dan pada sekon berikutnya Vino dipaksa berdiri. Kerah baju nya dicengkram kuat. Vino lemah, tatapan nya sayu. Dia tidak bisa marah diperlakukan kasar saat hati nya sedang cemas tak karuan.

"Kamu apakan saudara mu brandal!" Orang yang diketahui ayah dari si kembar itu menatap Vino dengan tatapan amarah yang berkobar. Bahkan jika Vino bukan manusia mungkin Vino sudah terbakar karena kobar amarah ayah nya sendiri.

Vino menunduk. Jika biasanya dia berani menatap balik angkuh ayah nya, namun berbeda dengan sekarang. Vino bahkan tak mampu berkata dengan nada tinggi seperti biasanya. Tenggorokan nya kering. Lidah nya kelu. Memikirkan nasib Gevan saja dia benar benar mau meledak.

"Kenapa bisa Gevan menjadi sekarat begini?! Ini ulah mu kan?! Mau mengajak nya bergulat seperti yang sering kau lakukan?!" Bagas berteriak tepat di hadapan Vino. Vino memalingkan wajah nya, iris nya bertemu dengan sang ibu yang malah menatap nya dengan raut cemas tak karuan.

"Kami-- aku hanya mengantar nya ke toko buku, lalu aku pergi sebentar dan dia sudah seperti itu." Vino menjelaskan dengan lirih. Suara nya masih terdengar serak. Jelas, Vino sangat berusaha menahan air mata yang sedari tadi mendesak ingin segera ditumpahkan.

"Mas, dengarkan? Vino tidak tau apapun. Ini rumah sakit, kau bisa diusir jika membuat keributan." Delima akhirnya buka suara, mengelus lengan Bagas dengan lembut. Menarik pelan lengan suami nya agar melepas cengkraman nya pada Vino.

Different ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang