Part 3

14.8K 809 8
                                    

                Lampu di seluruh villa dimatikan, seluruh murid akan mengikuti jurit malam. Astaga, masih jaman ya yang seperti itu? Aku berpasangan dengan Kak Raikan, kakak kelas XI dan seniorku di science club. Jika kalian bertanya, Kak Ryan sudah pasti berpasangan dengan Kak Kaila yang sedari tadi menempel pada lengan Kak Ryan. Aku hanya menghembuskan nafas berat, membuat Kak Raikan tertawa geli. “Kamu takut?”

Aku menjawab dengan suara pelan. “Nggak kok, Kak,” Kak Raikan menggandengku untuk menuruni tangga karena takut aku terjatuh sebab kondisi sekitar yang sudah gelap. Banyak para murid yang menjerit ketakutan, para siswi tentunya. Kak Raikan menuntunku untuk menuruni bukit, dia mengulurkan tangan padaku dan menangkapku agar tidak terjatuh ke rerumputan.

                Kami berdua mendekati kakak pemandu yang mengarahkan kami ke pos-pos untuk menyelesaikan misi jurit malam ini. Pertama, kami harus menebak isi sesuatu di dalam karung beras yang dipegang kakak bertopi hitam. Dengan suasana yang gelap, aku memasukkan  tangan ke dalam karung beras dan menebak-nebak isi di dalamnya. Sempat aku kegelian, tetapi aku tau isi di dalamnya.

Kak Raikan mencolek lenganku saat kami sudah berjalan sesudah diberitahu misi di pos selanjutnya. “Tadi, isinya apa?” Aku hanya tersenyum penuh arti. “Balon diisi air terus ada rumput, tangan kakak tadi bergerak-gerak di bagian bawah jadinya kayak ular kalau dirasakan. Untungnya aku nggak ketipu,” jelasku pada Kak Raikan, dan kamipun tertawa karena kekonyolan game ini.

                Saat di pos terakhir untuk menyerahkan lilin pada kakak pemandu di dekat kuburan, aku terperosok ke dalam lubang yang tidak terlihat karena gelap. Aku menaikkan kaki kiriku dari lubang tersebut dan merasakan perih di bagian tumit, Kak Raikan langsung membantuku berdiri dan memapahku untuk berjalan ke pos terakhir dan setelahnya dia meminta izin pada guru untuk membawaku ke kamar.

                “Sudah, Kak. Biar aku sendiri, “ Aku merebut obat merah dari tangan Kak Raikan. Dia sempat bersikeras untuk membantuku membersihkan luka, tetapi aku menolak, jadi Kak Raikan kembali ke kamarnya.

Mataku mulai memanas, merasakan perih di bagian tumitku, lukanya cukup lebar. Siswa siswi yang lain tadi malah menertawakanku bukannya membantuku, hanya Kak Raikan yang membantu. Tetes air mata mulai menuruni pipiku, aku terisak dan bersyukur keadaan di villa sudah sepi karena yang lain sudah mulai beristirahat. Kenapa mereka tidak bisa sekali saja menghargaiku atau membantuku?

Aku sudah selesai membersihkan luka dan mengobatinya. Karena belum mengantuk, aku berjalan ke kafetaria dan memesan oreo milkshake. Aneh memang, sedingin ini aku minum minuman yang dingin. Aku melihat sekitar, ternyata belum terlalu sepi, kafetaria terletak di dekat kamar-kamar khusus murid laki-laki jadi masih banyak yang bermain gitar, minum kopi, dan masih banyak lagi.

Saat sedang membuka novel yang belum kubaca, aku mendengar dehaman seorang lelaki. Aku mengalihkan pandangan dari novel kearah lelaki itu, aku menghela nafas ketika tau yang berdeham tadi itu Kak Ryan. “Do you mind, kalau aku duduk disini?” Dia menunjuk kursi di hadapanku. Aku hanya mengendikkan bahu dan mengaduk-aduk oreo milkshake ku.

                Setelah sekian lama kami berdiam dan hanya sibuk dengan minuman masing-masing. Akhirnya aku membuka pembicaraan sekaligus berniat untuk mengakhiri, “Aku mau kembali ke kamar. Permisi,” sesaat aku menoleh kearah Kak Ryan dan melihat tatapan nya padaku yang setajam pisau.

                “Kenapa menghindar?” suara serak dan beratnya terdengar menggema di telingaku, aku berdiri dari kursi dan menatapnya dengan tatapan datar. “Menghindar? Apa maksud kakak, ya?” sebisa mungkin aku menggunakan nada yang dibuat sopan.

                “Jangan seperti itu! Kamu seperti tidak suka aku dekati, selalu saja menghindar alasannya mau ke sinilah, ke sanalah. Kamu nggak mau berteman sama aku? Bilang saja,”

Jantungku berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Awalnya aku senang mendengar perkataannya yang seakan mengharapkan aku untuk selalu ada di dekatnya, tetapi tidak berlangsung lama saat Kak Ryan mengucapkan kata ‘teman’. Hanya teman.

                “Aku tidak pernah mengenal kata teman. Setauku tidak ada gunanya punya teman,” Aku menjauhi kafetaria dan berlari menuju kamar. Di dalam kamar sudah ada Kak Kaila dan Kak Andini yang menonton televisi dengan serius. Ketika aku membuka pintu, mereka hanya tersenyum tipis padaku. Ah... Aku lupa mengatakan kalau setiap kamar untuk siswi ditempati tiga orang dari kelas sepuluh, sebelas, dan dua belas.

Dengan langkah gontai aku melangkah ke tempat tidur sesudah cuci muka dan sikat gigi, mereka tidak menghiraukanku. Aku mulai memejamkan mata dan masuk ke dalam alam mimpi.

---------

                Pagi harinya, aku sudah bangun pertama kali dan langsung mandi. Sesudah aku mandi, langsung saja aku memakai sepatu untuk mengelilingi villa sebelum berkumpul untuk jalan pagi. Rambutku kubiarkan tergerai karena udara cukup dingin. Saat aku sedang mengikat tali sepatu di depan pintu kamar, aku melihat Kak Ryan berdiri cukup dekat di hadapanku. Dia memakai kaus berwarna putih, celana panjang berwarna hitam dengan kamera yang dikalungkannya pada leher. Pasti dia mencari Kak Kaila, tanpa sadar aku sudah tertawa sinis.

                “Sudah bangun?” Kak Ryan menatapku. Aku kira pertanyaan itu untuk Kak Kaila, jadi aku menjawab dengan malas. “Oh, Kak Kaila sudah bangun tapi masih mandi. Jadi, tunggu saja,”

Setelah berkata seperti itu, aku berdiri dan menepuk jaketku yang kotor karena aku terjatuh kemarin. Aku kaget mendengar suara kamera yang berasal dari dekat, aku langsung mendongak dan mendapati Kak Ryan yang menatapku dan memberikan senyuman miring. Aku balas menatapnya datar dan berlari menjauhinya.

                Ketika jalan santai, kakiku mulai terasa perih. Jalanku agak terseok, tetapi aku tetap berjalan dengan menahan perih di kaki. “Kalau belum sembuh benar, tidak usah ikut.” Suara yang terdengar tidak asing lagi di telingaku membuatku mendesah kasar. “Nggak usah sok peduli,”

                Dia memperkecil langkahnya agar berdampingan denganku. “Aku peduli, tanpa kata sok.” Aku menoleh, menatapnya kesal. “Kakak nggak usah deketin aku lagi. Kak Kaila bisa marah,”

                “Marah kenapa?” Dia bertanya sambil menatap lurus ke depan, lebih tepatnya ke arah Kak Kaila yang ada di depannya. Aku menggerakkan bahu dan menjawab dengan asal. “Cemburu mungkin?”

Kak Ryan tertawa samar. “Untuk apa dia cemburu? Cemburu dengan gadis.... seperti kamu?”

                Oh, god. Dia kembali melontarkan ejekan padaku. “Benar, untuk apa Kak Kaila cemburu sama aku,” Aku menghembuskan nafasku yang entah kenapa menjadi berat, sangat berat dan menyesakkan dada. Sebisa mungkin, aku menahan tangis yang sudah mendesak keluar karena mataku mulai memanas.

Cinta Kembali DatangWhere stories live. Discover now