ANNA POV
Hari ini aku menemani anakku, Riana, untuk mengikuti kelas memasak. Hm... Sebenarnya, yang memasak itu aku. Dia hanya akan menghias kue-kue. Kegiatan ini kami berdua lakukan untuk mengisi waktu akhir pekan. Daripada kebosanan di rumah, lagipula Kak Ryan sedang satgas di wilayah perbatasan yang ada di Papua. Bohong kalau aku tidak merindukannya. Aku sangat sangat merindukannya, sampai ingin terbang ke Papua langsung saat ini. Hehehe.
"Sudah siap?!?" tanyaku sambil menggandeng tangannya dengan erat. Tidak ingin mengambil resiko kehilangannya ditengah keramaian pusat perbelanjaan, dimana kelas memasak itu berlangsung.
Riana mengangguk antusias, matanya yang lebar dengan semangat mencari-cari hiasan yang akan diletakkannya di atas cupcake buatanku. Aku menyemangatinya dengan bertepuk tangan dan meneriakkan "Ayo, Riana sayang!"
Setelah menghias beberapa cupcake, Riana diperbolehkan pulang dengan membawa hasil karyanya. Dia dengan tergesa mencomot kue-kue indah yang sudah dibuka dari bungkusnya. Riana memintaku untuk menunduk, kemudian dia menyuapiku. "Mama makan yang banyak, biar debay-nya sehat!" ucapnya.
Tidak bisa dipungkiri, hatiku terenyuh akan perhatiannya. Dia masih kecil tapi sudah sangat berbakti dan menaruh begitu banyak perhatian padaku. Aku rasanya tidak ingin melepasnya. Tidak tahu mengapa, aku selalu ingin Riana berada dalam dekapanku. Tidak ingin berpisah sebentar dengannya walau sejengkal sekalipun. Padahal, kami selalu bersama setiap saat.
-----
Aku membuatkan makanan kesukaan Riana kali ini, yaitu pasta. Dia sangat menyukai pasta, apalagi dengan extra cheese. Kesukaannya memang tidak jauh dengan kesukaan Kak Ryan. Riana menggapai piring berisi pasta yang berada di tanganku dengan semangat. Dia melahapnya dengan mata melebar dan mengacungkan jempolnya padaku. "Enyaaaaak!" begitu katanya.
Setelah aku dan Riana makan malam, kami memutuskan untuk menonton program kesukaan Riana, yaitu Hi5. Dia selalu ikut berjoget dan bernyanyi dengan lagu-lagu yang ada di program itu. Riana juga bilang, kalau dia sangat ingin jadi artis seperti mereka. Di usianya yang masih kecil, dia sudah menunjukkan bakatnya. Dia mulai mahir bermain piano dan juga gemar bernyanyi. Yah, mungkin suatu saat dia akan menjadi musisi terkenal. Apapun yang diingankannya, akan kudukung selama itu baik untuknya.
Riana bergerak-gerak dalam pangkuanku, kenapa dia belum juga tidur? Hi5 kesukaannya sudah berakhir dan aku juga sudah mengelus-elus rambutnya. Hal yang biasa kulakukan agar membuatnya cepat terlelap. "Kenapa sayang?" tanyaku.
"Bunda, Riana pengen deh..." dia menggantungkan ucapannya, "Riana pengen debay cepat lahir. Biar Bunda nggak kesepian lagi. Biar Riana punya teman main," ujarnya.
Tanpa sadar, aku meneteskan air mata. Oh Tuhan... Mengapa bisa kau menciptakan anakku seperti ini? Sangat menyayangi orang tuanya, tidak pernah mengecewakanku dan Kak Ryan. Aku merengkuhnya pelan.
"Bunda nggak akan kesepian kok selama Riana temenin Bunda. Janji ya Riana akan temenin Bunda biar Bunda nggak kesepian?" tanyaku sambil mengacungkan jari kelingkingku padanya.
Riana terdiam sesaat seperti ragu. Kemudian putriku menatapku dengan mata lebarnya yang berbinar, "Janji!" ucapnya dengan mengaitkan jari kelingkingnya pada milikku.
Hari ini rencananya aku dan putriku akan menyiapkan makanan banyak, untuk menyambut kedatangan suamiku. Pipiku terasa panas ketika menyebut Kak Ryan sebagai suamiku, padahal kami sudah menikah selama beberapa tahun. Tetap saja, aku masih malu. Tidak terbayang kalau dialah yang menjadi imamku sekarang ini. Bahkan, menjadi ayah untuk anak-anakku.
Riana menggandeng tanganku erat ketika kami sedang menunggu taksi lewat, ada yang aneh dengannya. Tangannya dingin. Aku menatapnya cemas. "Riri sayang, kamu sakit, nak?" tanyaku memastikan. Riana menggeleng lemah. "Nggak, Bun. Ayo kita pergi,"
Ketika aku menyetop taksi, kulihat di seberang jalan ada anak remaja perempuan berwajah pucat sedang menatapku iba. Aku menatapnya sinis, kini aku berbahagia, kenapa dia seperti itu? Aku menggendong Riana dan masuk ke dalam taksi.
----
Aku dan Riana sudah selesai berbelanja berbagai kebutuhan. Sekarang, Riana memintaku untuk membelikannya es krim. Aku meminta dia menunggu di bangku dekat dengan kios buah. Dia menggangguk dengan patuh. Aku tersenyum melihatnya. Dengan bergegas, aku menuju penjual es krim yang tidak jauh dari tempatku sebelumnya. BUKKK! Sempat aku mendengar suara yang cukup memekakan telinga, tapi kuhiraukan karena putriku sedang menungguku.
"Dua es krim coklat, Mas." Ujarku pada penjual es krim itu. Setelah memberikan sejumlah uang, aku meninggalkan tempat itu dan berlari kecil sambil menenteng dua eskrim pada Riana.
Namun, apa yang kutemui? Kerumunan orang di pinggir jalan. Aku menyapukan pandangan ke seluruh arah, tetapi nihil. Riana tidak ada dimana-mana. Karena penasaran juga dengan apa yang terjadi, aku menerobos keramaian tersebut dan betapa terkejutnya aku. Aku melihat anakku tergeletak lemah dengan darah bercucuran dari kepalanya. Aku berteriak histeris, tak kuhiraukan lagi kemejaku yang penuh dengan darah. Kugendong Riana menuju mobil dan kubawa dia ke rumah sakit. Aku berharap dia bisa diselamatkan...
---
AUTHOR POV
Ketika Riana menunggu ibunya membeli es krim, dia bergerak gelisah dalam duduknya seolah ada yang mengganggu pikirannya. Tetapi dia tidak boleh merengek, karena dia tahu itu hanya akan membuat ibunya bertambah susah. Tiba-tiba ada seorang remaja perempuan menghampirinya dan menarik tangannya. "Ayo, dek! Kamu harus pergi! Ayo ikut aku! Kegelapan akan menelan semuanya!" ujar gadis itu dengan berlinang air mata.
Namun, Riana tetap tak beranjak dari tempatnya. Dia tidak mau Bundanya kesusahan dengan mencarinya. Dia menolak ajakan gadis itu dengan halus. Bundanya pernah bilang kalau dia tidak boleh ikut dengan orang sembarangan. Kemungkinan besar itu penculik, lalu gadis itu melepaskan cengkramannya pada tangan mungil Riana dan berlari ketakutan.
Riana menatap punggung gadis tersebut dengan penasaran. Tapi tiba-tiba... BUKKK! Balok kayu yang asalnya dari belakang langsung menghantam kepalanya yang mungil. Tubuhnya lemas dan kepalanya yang bercucurah darah langsung terjatuh di aspal. Dia merintih kesakitan, "Bunda..." Pria menggunakan pakaian serba hitam itu menyeringai dan kemudian lari secepat yang ia bisa.
----
"Ya Tuhan, anakku! Selamatkan dia! Tolong..." teriak Anna dengan tangis yang keras. Matanya sudah merah, penuh air mata dan darah dari kepala Riana juga mengotori sebagian wajahnya. Dia tidak peduli dengan penampilannya yang seperti orang gila, dia hanya ingin anaknya selamat!
Anna terduduk lemas di depan pintu UGD, dia menelungkupkan wajahnya dan menangis sekencang mungkin. Dia menumpahkan segala kesedihannya melalui air mata. Dia berdoa agar putrinya bisa terselamatkan. Anna membenturkan kepalanya pada dinding di belakangnya. "Ini semua salahku... Aku ini ibu macam apa!" ujarnya dengan suara serak. "Riana.... Anak Bunda, maafin Bunda."
----
Anna dengan kondisinya yang tidak karuan menemui dokter yang menangani Riana. Dia menatap dokter itu penuh harap agar anaknya bisa selamat dan hidup normal kembali. Dokter tersebut menghela nafas, "Begini, Bu. Anak ibu mungkin bisa sembuh kembali, tetapi ibu sendiri tahu kalau kemungkinannya tidak seratus persen." Ucap sang dokter membuat jantung Anna seakan berhenti berdetak.
"A...Apa maksudnya, dok?" tanya Anna.
"Artinya, kalau putri ibu sudah siuman mungkin akan ada gejala-gejala lain yang bisa timbul. Karena Putri ibu mengalami gegar otak." Penjelasan dokter tersebut membuat Anna merosot, tubuhnya lemas. Cobaan apa lagi ini? Bisiknya dalam hati.
YOU ARE READING
Cinta Kembali Datang
RomanceMengapa dia datang kembali setelah menorehkan luka yang mendalam di dalam hatiku? Seolah aku ditakdirkan untuknya, mengapa aku sering bertemu dengannya?