_Kita tidak perlu bersama untuk tetap menjadi kita. Karena pada akhirnya kita akan terpisahkan baik sekarang atau nanti. Tentang kematian yang datang dengan tiba-tiba_
...Bel istirahat telah berbunyi, seluruh siswa mulai berhamburan. Sheila dan Difa memilih ke kantin.
"Hai!"
Sheila dan Difa mengalihkan perhatiannya dimana Tristan sudah ada di dekatnya. "Eh, hai, Tan!"
"Nih, buat lo!" Tristan menyodorkan sebatang coklat yang terikat pita. "Buat lo, Sheila bukan Sinta. Sebagai permintaan maaf gue yang udah ganggu lo."
"Oh, makasih," jawab Sheila sambil mengambil coklat tersebut. "Gue kira, lo benci sama gue dan gak mau nemuin gue."
Tristan hanya tersenyum kecil. "Gue bukan orang seperti itu."
Entah hanya perasaan Difa saja atau memang benar, suasana diantara keduanya terasa canggung dan mencekam.
"Makasih," jawab Sheila kembali tidak tau harus berkata apa.
"Gue duluan." Tristan langsung pergi dan Sheila hanya menatap punggung Tristan yang terus menjauh.
Arka yang melihat kejadian tersebut hanya bisa diam menatap sendu Tristan. Tak ada senyuman lebar dan keceriaan yang ditunjukan Tristan, yang ada dia lebih sering terdiam sama seperti dulu.
-000-
"Hari ini damai banget, ya? Gak ada perdebatan antara lo sama Tristan," ucap Difa sambil merenggangkan tangannya.
"He-em." Sheila membereskan bukunya dikarenakan bel pulang sudah berbunyi.
"Lo kenapa? Banyak bengong?"
"Gak papa, biasa aja malah. Perasaan lo aja kali."
"Ya udah ya, gue duluan. Takut Fikri nungguin." Fikri lagi, Fikri lagi, dan sekarang Sheila malah kembali ditinggal.
"Kok, gue kepikiran Tristan, ya?" Gumamnya lalu keluar dari kelas, ia menatap kedepan dimana Tristan dan Arka berjalan. Biasanya, Tristan akan menunggunya lalu mencegatnya, mengatakan hal manis dan bersikap baik. Sheila langsung menggelengkan kepala dan berlalu.
"Mau langsung pulang?"
Itulah yang dapat Sheila dengar ketika jarak mereka cukup dekat.
"Pulang aja."
"Oh, oke!"
Bruk!
Sheila menghentikan langkahnya ketika sebuah buku jatuh dari saku tas Tristan. Kedua orang didepannya ikut menghentikan langkah dan berbalik. Tristan memandang Sheila yang tengah memungut buku tersebut.
"Ini..." gumam Sheila memperhatikan buku tersebut dan terdapat kata Sinta dijilidnya.
Dengan cepat Tristan langsung merebutnya. "Makasih!"
Sheila menatap Tristan heran. "Itu punya Sinta?"
"Bukan. Ayo, Ka!" Tristan langsung meninggalkan Sheila yang masih terdiam di tempatnya. Memikirkan bahwa Tristan benar-benar memperlakukannya bagai orang asing. Sebuah perasaan bergelisir dihatinya, rasanya sakit.
-000-
Tristan menghembuskan nafasnya dengan kasar ketika sampai dikamar dan duduk ditepi kasur. "Gue gak akan bisa lupain Sinta jika terus ketemu sama dia."
"Lo mau lupain Sinta?" Tanya Arka meyakinkan. Sebuah keajaiban jika Tristan memang ingin mengatakannya.
"Mungkin, kalo bisa. Lebih tepatnya, gue semakin keinget Sinta kalo lihat dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
SHETAN
Teen FictionPernah bayangin, gak? Tiba-tiba ada cowok asing yang keren bertemu dengan mu. Eh, dia langsung manggil kamu, bersikap manis sama kamu seakan-akan kalian itu udah kenal lama. Ini bukan tentang seorang cowok yang hanya mengklaim seorang cewek sebagai...