2. [BMB] Gundah

60 34 19
                                    

Jarum pendek jam dinding sudah berada di tengah. Namun gadis itu enggan menutup mata. Menatap kosong langit-langit kamar. Sangat jelas ada yang sedang menggangu pikirannya.

Setelah memastikan pada ibunya, apa benar dia akan dikirim ke asrama? Raihan tentu mendapat jawaban yang tidak sesuai inginnya. Dia mulai hilang harapan. Membayangkan kehidupan asrama penuh kekangan. Makan diatur, keluar pakai jam, tidur tidak bisa seenaknya. Raihan menghela napas kasar.

Satu hal yang Raihan sayangkan dari keluarganya, mengambil keputusan tanpa berdiskusi dengan dia. Bukankah dia yang akan menjalankan, kenapa harus mereka yang menentukan.

Dia teringat dengan percakapan melalui panggilan whatsapp bebera jam tadi dengan sang Kakak.

"Ka, beneran aku masuk asrama?" Raihan langsung bertanya tanpa embel-embel salam, menandakan dia sangat kesal. Padahal bagi seorang muslim, meski kesal ataupun tidak mengucap salam adalah kewajiban. Sekali lagi diperjelas ke-WAJIB-an.

"Iya. Kenapa? Ibu nggak bilang sama kamu? Besok lho ya masuknya!"

"Ibu nggak bilang. Gimana sih, ini kan masa depanku. Aku yang paling berhak menentukan, bukan kalian." Raihan menjawab dengan nada penuh kekesalan.

"Ya... mana ku tahu. Kamu tanya aja dengan Ibu. Mungkin mereka menduga kamu tidak bisa menentukan pilihan yang tepat untuk hidupmu." Raimuna berucap sambil terkekeh di sebrang.

Bukan Raimuna dan Raihan saja. Mungkin beberapa sudara di luaran sana pernah mengalami hal yang sama, bila yang satunya kesal pasti yang satunya mengejek.

"Heh? Awas kamu ya... aku kesal."

Tawa Raimuna semakin terbahak mendengar ucapan bernada ancaman dari sang adik.

Raihan mengancam orang yang salah. Dia lupa Raimuna adalah kunci sukses keberangkatannya besok.

"Kalau kamu ngancam aku. Aku nggak mau ngambil kamu di terminal besok. Biar kamu ngerasain jadi gelandangan. Hahaha..."

Mendengar ucapan kakaknya. Kekesalan Raihan berubah menjadi level marah. Kilat matanya berubah merah. Kedua telinganya mungkin sudah mengeluarkan asap panas. Dia mematikan panggilan tersebut secara sepihak.

Raihan membanting hapenya ke kasur. Dia orang yang tidak bernyali besar kok, tidak berani juga membanting hape ke dinding atau lantai yang berpotensi membuat rusak dan tidak lagi dibelikan.

Sejak tadi hingga ingar-bingar di jalan tak lagi terdengar yang ada dipikirannya hanya satu.

ASRAMA!

ASRAMA!

ASMARA! Ups... salah.

Bosan dengan memandang langit-langit kamar. Raihan berguling-guling ke kiri dan kanan. Ingin teriak menghilangkan gundah tapi takut dikeroyok warga. Serba salah memang.

Dia mengacak dan menjambak rambutnya sendiri. Sudah seperti orang frustasi.

Seperti ada lampu menyala di dekat kepalanya dan berbunyi "ting" tiba-tiba saja ia teringat perkataan ayahnya. "Sesalah-salahnya orang tua. Tidak ada yang ingin anaknya ikut-ikutan salah." Setelah mengingat ucapan tersebut Raihan mengusap dadanya sembari mengucap, "astaghfirullah."

Raihan mulai berpikir mungkin ayahnya ingin dia jadi orang baik. Bukan karena dia jahat, akan tetapi dia perlu latihan pendisiplinan. Selama ini kan kehidupannya terlalu berantakan. Mungkin asrama solusinya.

Mendadak udara dalam kamar mulai kembali normal karena kekesalan Raihan yang mulai luntur. Sepasang matanya pun menutup perlahan. Perjalanan menjelajah mimpi dimulai!

Bukan Mimpi BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang