11. [BMB] Titik Titik

8 1 0
                                    

Raihan dulu berpikir mereka yang sakit hati dan tidak mau makan adalah lebay. Tapi sekarang ia sendiri yang merasakan. Dulu juga, ia pikir menjadi pendiam setelah sakit hati itu tidak mungkin. Nyatanya itu hal yang wajar menurutnya sekarang.

Sakit hati Raihan bercabang, bukan karena cinta yang tak mungkin lagi bersemi, tapi karena cita-citanya ikut redup. 

Raihan telah memblokir kontak Azwad. Dia tidak ingin mengambil resiko, terus berteman akan mengundang rindu. Meski hal itu pula yang membuat dia uring-uringan ingin kembali menghubungi Azwad.

Sejak hari itu pula, Raihan tak pernah lagi turun saat ada jadwal pertemuan bersama lingkar pemula. Hatinya sakit, dia merasa malu. Raihan memang mental kerupuk, dia tidak tahan banting.

Raihan lebih memilih mengerjakan tugas kampus dan menambah hafalan di sarama. Raihan sudah diizinkan ikut tahfiz setelah dinyatakan lulus tahsin.

Teman-temannya pun seolah mengerti kondisi Raihan. Mereka tidak bertanya sama sekali, kenapa Raihan jadi pendiam  atau kenapa malam itu Raihan terlambat salat, masuk dari halaman belakang dengan mata bengkak.

Mendadak rajin. Menyibukkan diri dengan kegiatan lain memang dirasa efektif untuk mengahalau sakit hati.

"Rai, em ... um ...." Abel terlihat salah tingkah ingin mengajak Raihan bicara.

"Kenapa?"

"Kamu kok nggak pernah pinjam sepedaku lagi?"

Raihan tampak berpikir. "Aku lagi malas turun dan sepertinya tidak akan turun lagi."

Abel menghela napas panjang. Satu sisi dia senang akhirnya Raihan berbicara dengan kalimat panjang karena semenjak hari penuh tanda tanya itu, Raihan saat diajak bicara hanya akan merespon dengan kata "hm, iya, oh, dan tidak" seperti tidak memili kosa kata lagi. Di sisi lain Abel khawatir kenapa Raihan tak mau lagi turun belajar menulis.

"Lho, kenapa gak turun?" tanya Abel. Dia juga penasaran apa yang sebenarnya jadi masalah Raihan yang mengundang titik-titik, seperti kalimat tidak rampung di kepalanya.

"Malas."

Entah kenapa Abel yakin 1000% kalau malas bukanlah alasan Raihan untuk tidak turun. Pasti ada alasan lain. Tapi sebagai teman dia tidak ingin terlalu kepo. Dirinya saja tidak suka jika privasinya terlalu diganggu. Raihan pasti tahu pada siapa dan kapan waktu yang tetap untuk menceritakan masalahnya, pikir Abel.

"Bukan malas deh  Bel, kalau orang lain bisa, kenapa harus kita," imbuh Raihan.

Abel hanya tertawa. Bahkan jika biasanya dia mempermasalahkan panggilan 'Bel', untuk sekarang dia berusaha memaklumi.

"Apapun yang terjadi, semoga kamu kembali semangat ya! Jangan pantang menyerah."

Raihan mengngguk.

💙💙💙

Baru saja Raihan berwacana ingin tidur siang. Hapenya berdering menampilkan nama Kakaknya di sana.

Raihan malas menjawab panggilan tersebut. Berbicara dengan kakaknya, akan menambah sakit kepala saja. Ingin dimatikan takut penting.

Mengganggu pikir Raihan. Dia mengangkat telepon, kemudian keduanya saling berbalas salam.

"Sibuk gak, kau?"

"Nggak," jawab Raihan dengan singkat, padat dan jelas.

"Aku jemput kamu, ya. Sebentar lagi tunggu aja."

Bukan Mimpi BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang