12. [BMB]

8 1 0
                                    

"Ibarat nih. Aneh sih, kalau misalnya kita ikut lomba dan kita menang terus. Sesekali harus kalah atau beberapa kali lah, biar hidup kita ada dramanya dikit. Gitu juga kamu, nggak mungkin langsung jadi penulis tanpa adanya kritik dan saran. Atau tanpa ada tragedi-tragedi kecil yang mengiringi perjalananmu."

"Aku harap sih, setelah aku bawa kamu  jalan-jalan ini dan mendengar beberapa ceramahku yang lumayan panjang kali lebar ini, sedikit bisa mencerahkan pikiranmu lah."

"Jangan melulu anggap orang lain salah. Tengok diri kita sendiri udah benar juga nggak? Kalau belum benar, ya ... jangan marah dan patah semangat. Semangat lagi, Rai. Aku tuh diam-diam perduli tahu nggak sama kamu, tapi, malas nunjukin aja."

"Kalau kamu bisa membanggakan dengan karyamu. Ya, aku juga bangga sebagai seorang Kakak."

Nasehat Raimuna tadi terekam jelas di kepala Raihan. Bahkan saat dia keramas kata-kata Raimuna tidak luntur terbawa air yang membasahi kepalanya. Raihan tidak bisa menyangkal perkataan kakaknya yang suka marah disisi lain punya sikap bijaksana.

Raihan pun menemukan semangatnya kembali untuk hadir di pertemuan komunitas.

Semangat Raihanah, kamu pati bisa! Raihanah membatin.

Sekarang sebagian sisi hati Raihan membaik, walaupun sisi hatinya yang lain masih meresa perih. Menerima kenyataan bahwa cinta yang ia tanam pada sahabatnya sendiri harus mati sebelum disiram dan mekar. Ada realita yang harus diterima bahwa perasaannya harus gagal berkembang biak.

"Raihanah! Jangan melamun, nanti kerasukan jin." Suara Abel menyadarkan Raihan dari lamunannya yang duduk di halaman belakang asrama sambil menatap bintang-bintang yang terlihat indah.

"Jangan ngomong yang aneh-aneh dong, kalau aku kerasukan kamu adalah orang pertama yang aku cari. Lagian ngapain kamu ke sini, nggak setoran?"

"Udah lah, ngapain juga aku nyamperin kamu kalau belum setoran. Toh, kamu gak lebih penting dari pada hafalan aku." Abel tertawa sedang Raihan memasang muka masam. Jangankan Abel, Raihan sahabat lamanya pun menganggapnya tidak lebih penting dari gadis yang baru sahabatnya itu temui dan pacari. Kalau teringat ini lagi Raihan ingin bilang "Ah, mantap ya sakit hati."

"Kenapa kamu berubah jadi ngeselin ya, Abel, akhir-akhir ini."

Seingat Raihan, Abel itu orang yang tidak pernah banyak ngomong. Sekali ngomong biasanya yang penting saja. Akhir-akhir ini malah beda lebih banyak ngomong.

"Ya kan, namanya juga manusia. Kalau pertama jaim dulu sama orang baru sambil memantau kira-kira temannya ini pantas tidak dijadikan tempat buka kartu."

Raihan hanya mengangguk.

"Rame nggak tadi jalan-jalan?" tanya Abel.

"Emang ada jalan-jalan di jalan nggak rame?"

Abel mengangguk membenarkan.

"Ya ... siapa tau, kan."

"Bel, kamu pernah nggak naksir cowok?" tanya Raihan dengan kepala mendomgak menatap bintang.

Entah kenapa dia penasaran dengan isi hati Abel sebelum bertemu dengannya. Secara manusiawi sih, Abel pasti pernah naksir orang, setidaknya naksir karena kagum lah bukan karena cinta. Tapi, kalau dia bukan manusia bisa saja jawabannya belum pernah naksir orang.

"Ya ..., y-ya pernah sih," jawab Abel salah tingkah.

"Huhuy, pernah naksir nih kayaknya," goda Raihan.

"Iya kali nggak pernah, aku kan cewe normal, Raihanah. Meski pernah sekali sih."

Raihan mengangguk. "Terus gimana? Kamu naksir dia, dia naksir kamu nggak? Terus sampai sekarang masih naksir? Kalau udah nggak naksir, gimana cara kamu melupakannya? Aku pinisirin," ucap Raihan dengan nada dibuat seriang mungkin.

"Dia naksir sih, kita bahkan sering berbalas pesan gitu. Cuma bapakku tau, jadi aku dimarahin. Lagian waktu itu aku kelas 2 SMP, masih bau kencur."

Raihan menyimak ucapan Abel dengan wajah penasaran. "Terus kamu galau. Kamu tinggalin nggak dia atau menjalin hubungan diam-diam?"

"Galau sih pasti, pas bilang 'jangan hubungi aku lagi' itu seperti ada rasa yang hilang aja gitu. Backstreet nggak terpikir sama sekali. Cara ngelupainnya waktu itu aku menyibukkan diri aja, banyak-banyak ikut ekskul. Lumayanlah saat ekskul dapat banyak teman jadi terhibur, pas pulang ke rumah juga udah cape, kan. Nggak mikir galau-galau lagi, yang dipikir gimana caranya buat cepat-cepat tidur."

Boleh juga nih dikutin caranya, batin Raihan. Semacam mengalihkan fokus, supaya pikiran tidak terpusat pada pacar orang.

"Kamu nanya karena lagi patah hati ya, Rai?" tanya Abel. "Kemaren aku sama penghuni kamar lihat kamu dari halaman belakang matanya sembab gitu."

"Aku ada masalah juga sih sama anggota komunitasku, Bel." Untuk saat ini Abel tidak protes nama panggilannya disebut 'Bel'. "Patah hati iya juga. Aku naksir orang tapi dia naksirnya orang lain. Dia cuma nganggap aku teman padahal aku berharapnya dia nganggap aku teman hidupnya. Pengen jadi jodohnya lah pokoknya."

"Udah lama temenannya?" tanya Abel.

Hati Raihan mendadak sesak. Mencurahkan isi hati pada Abel seperti membongkar kembali kenangan lamanya dengan Azwad yang begitu manis dan harus berakhir tragis. Tragis dipandang dari sisi Raihan.

"Udah lama pake banget, malahan. Ini tuh bukan kejadian langka sih, tiba-tiba dia pacaran sama orang lain. Dulu juga gitu, dia pacaran sama orang lain. Tapi, aku tetap naksir dia. Dia juga kalau putus sama pacarnya pasti datangin aku, hubungin aku." Ada air yang mulai menganak sungai di pelupuk mata Raihan, yang segera Raihan hapus. "Menurutmu aku bodoh nggak sih, Bel?"

Abel diam beberapa saat. Berusaha menata narasi yang tepat untuk dikatakan pada Raihan.

Abel menarik nafas dalam. "Jatuh cinta itu nggak bodoh kok, Rai, manusiawi. Cuma cara kita mengekspresikannya aja yang kadang salah. Aku nggak pernah nenangin orang galau sih, Rai. Jadi mohon maaf aja kalau kata-kataku menyinggung kamu."

"Santai aja, Bel." Raihan diam, "menurutmu siapa yang salah?"

"Nggak ada."

Raihan langsung menegapkan badannya yang bersandar di kepala kursi itu. Menatap Abel yang terlihat sangat santai.

"Kok gitu?"

"Memang kamu maunya aku jawab siapa yang salah? Pria yang kamu taksir!"

Raihan menggaruk kepala. Jujur dia juga menjadi tidak yakin kalau harus menyalahkan Azwad.

"Menurutku, kamu nggak salah naksir dia dan dia juga nggak salah naksir orang lain. Toh, perasaan yang ngatur bukan kita. Perasaan nyaman kadang munculnya juga nggak tertebak dari siapa 'kan?" tanya Abel.

Raihan mengangguk mengiyakan. Astaga kenapa Abel benar. Kenapa orang-orang di sekitarnya menjadi bijak hari ini.

"Ada yang harus berhenti, bukan mobil dan bukan sepeda motor," tutur Abel sambil melihat kerlap-kerlip bintang di langit.

"Apa?" tanya Raihan sembari ikut memandang bintang.

"Perasaanmu."

"Cara menghentikannya?"

"Harus Sibuk."

Lama Raihan diam hingga akhirnya kata "Baik lah" terdengar dari bibirnya.

"Udah baikan kan sekarang?"

Raihan mengangguk "lumayan".

"Ayo masuk!"

Kedua sahabat itu pun kembali ke kamar.

Malam itu perasaan Raihan tidak sepenuhnya sembuh dari luka. Namun, setidaknya membaik dari sebelumnya. Dia sudah mulai sadar, bukan Azwad yang menyakitinya, tetapi harapannya sendiri.

💙💙💙

Bukan Mimpi BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang