9. [BMB] Sepanjang Jalan Kenangan

23 10 2
                                    

Tandai typo karna diketik dan up secara memdadak.
------

Pipi Raihan bersemu merah. Kentara sekali padahal tidak menggunakan blash-on. Jangankan blash-on bedak saja, masih setia pakai bedak bayi.

Mulutnya komat kamit menyanyi lagu yang tepat dengan suasana hatinya sekarang. Kakinya begitu semangat menganyuh sepeda, sampai-sampai dia lupa ada satu amanah yang diberikan padanya.

"Bella, kamu jadi saksi ya ... kalau kak Adimas menyapaku tadi." Raihan berucap. Tentu saja Bella tidak memunculkan respon. Dia hanya sepeda yang mengeluarkan suara 'ngit, ngit' karena rantai yang kurang diberi pelumas.

Ah kok jadi baper? tanya Raihan dalam hati. Bisa saja Adimas mengucapkan hal yang sama pada semua anggota lingkar pemula yang ia temui di jalan. Apalagi dia adalah ketua yang memang harus ramah jika ingin dihormati dan dicintai anggotanya.

Lagipula mana boleh Raihan naksir dengan orang yang baru dikenal, sedang ada Azwad yang selalu ia nantikan hadirnya.

Berbicara Azwad, sudah hampir sebulan dia tidak menghubungi Raihan. Padahal Raihan sangat menantikan hapenya berkelap-kelip, ada notifikasi yang menjelaskan Azwad menghubungi paling tidak mengirim pesan.

Menghubungi Azwad lebih dulu Raihan malu. Meski harus menyiksa diri sendiri dengan rindu. Apalagi sekarang Azwad pasti tidak sesantai dulu. Dia sudah kerja.

Raihan menyakinkan hati jangan sampai nama Azwad diganti, entah dengan nama Adimas atau nama cowo lainnya. Memang Adimas mau membuang waktu untuk menaklukkan hati Raihan? Dasar over confident.

Sampai di asrama, Raihan menghela napas lega. Dia tidak terlambat. Segera dikumpulkannya hape kemudian mandi.

Saat masuk kamar, Abel menatapnya berbinar-binar. Raihan heran dengan apa yang terjadi pada sahabatnya ini.

Enggan bertanya Raihan melanjutkan kegiatan, memilih tadarus Quran memanfaatkan waktu sebelum azan magrib tiba. Sekarang Raihan mulai bisa beradaptasi dengan kegiatan asrama. Dia sudah jarang menjadi mangsa musyrifah Fatimah. Satu hal yang ia syukuri.

Baru membaca ta'awuz, Abel sudah menggerutu kesal.

"Rai, kamu lupa ya ...?"

Lupa apa? tanya Raihan dalam hati. Perasaan dia tidak melupakan sesuatu. Pulang tepat waktu, hape sudah dikumpul langsung saat datang tadi. Piket makan malam? Bukan gilirannya. Piket kebersihan? Bukannya semingguan tadi sudah non-stop, kemarin hari terakhir hukumannya selesai. Lalu apa?

Raihan masih memasang wajah bingung.

Abel berusaha sabar. "Itu lho, Rai. Pukis pesananku dibeli?" tanya Abel.

Raihan langsung menepuk jidat. Tidak perlu dia menjawab pertanyaan Abel. Abel sudah tahu jawabannya dari reaksi tubuh yang Raihan perlihatkan.

"Pasti lupa."

Raihan hanya nyengir.

Apa terlalu senang bisa membuat orang lain jadi pelupa? Atau hanya Raihan memang pelupa.

"Yaudah, kapan-kapan deh aku nitip lagi. Tapi jangan lupa," tekan Abel.

"Siap, boss."

Raihan melanjutkan tadarusnya kembali sampai azan magrib berkumandang. Semua penduduk asrama bergegas untuk salat.

Selesai salat. "Jangan bubar dulu, ya!" perintah musyrifah Aisyah.

Semua mengangguk dan mulai memposisikan diri untuk duduk. Biasanya setelah salat adalah jadwal makan. Baru setelah isa jadwal untuk belajar tahsin bagi yang belum lulus dan setor hafalan bagi yang sudah lulus tahsin. Raihan sendiri masuk dikelompok belajar tahsin.

Bukan Mimpi BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang