Seberapa sering pun kita pulang, Kalo memang bukan rumah kita, tempat itu enggak akan hangat buat kita, kan?
Langit masih cerah. Kios-kios di pinggir jalan masih sesak ramai oleh manusia-manusia muda berseragam sekolah. Samar-samar terdengar obrolan keluh kesah milik siswa kelas tujuh. Ia menambah kesan hiperbola atas beban yang dideritanya, seolah menjadi korban yang paling dirugikan dalam kegiatan belajar dan mengajar.
Suara itu mengiringi langkah kaki seorang lelaki. Tak biasanya ia sudah pulang sekolah sedini ini. Biasanya ia pulang saat langit mulai gelap, sekolah mulai sepi. Banyak yang harus ia lakukan sebelum pulang, salah satunya memastikan Sindy sampai di asrama dalam keadaan baik-baik saja.
Tapi hari ini berbeda, obrolan yang memantik emosi itu membuat Rama perlu istirahat dan menyendiri untuk sementara waktu, termasuk istirahat dari memerhatikan perempuannya itu.
"Tumben udah pulang."
Rama tak menanggapi pernyataan bundanya.
"Kenapa? Hasil pemilihan OSIS nya enggak memuaskan? Enggak apa-ap-."
"Kakang menang kok, bun." potongnya.
"Alhamdulillah gustiii!!! Selamat ya anak bundaaa. Harus amanah. Bunda bangga sama kakang. Semoga kakang jadi orang yang lebih baik lagi kedepannya.-"
"-Terus kenapa ditekuk gitu mukanya?"
"Lagi ada yang bikin enggak enak hati aja, bun.-" Rama menyimpan sepatunya dan duduk di sofa.
"-Kenapa hal yang bikin enggak enak hati ini, harus dateng pas kakang bahagia ya, bun?"
"Karena sedih sama bahagia itu satu paket. Kalo kakang awalnya lagi bahagia, berarti kakang cuma buka salah satu kotak dari paket yang Tuhan kasih. Cepat atau lambat, kotak kedua yang namanya kotak kesedihan, pasti harus kakang buka juga." Bunda duduk disamping Rama.
"Makanya inget satu hal ketika sedih atau bahagia. 'Semuanya pasti berlalu'. Jadi ketika bahagia, kakang inget kalo kebahagiaan itu bakal berlalu. Dan kalo kakang sedih, kakang juga inget kesedihan itu bakal berlalu." lanjutnya.
Rama tersenyum dan menyandarkan kepalanya pada pundak bunda.
...
Ponsel berwarna hitam itu bergetar. Sunyinya malam mampu membuat suara yang relatif kecil pun mampu dijangkau telinga seseorang. Sebuah notifikasi masuk mengetuk pintu lamunan Rama yang akhir-akhir ini sering merajai hening di dalam kepalanya.
Wafi Anwari
Mundur atau bertahan ya, mas bro?Dilihatnya ada pesan masuk dari Wafi di grup chat STONE'S BOYS yang beranggotakan Rama dan 3 orang temannya yang lain.
Tanpa perlu ia tanyakan, Rama sebenarnya sudah tahu siapa perempuan yang membuat Wafi ragu. Setiap berkumpul, Wafi selalu refleks menceritakan teman yang sejak kelas tujuh sekelas dengannya.
Rama Gloomy
Gas bro! Kalo butuh bantuan, tenang, ada kita-kita.Terkirim.
Baru saja layar ponsel itu ia tutup. Rama mendengar notifikasi lagi. Tapi bukan pesan balasan dari grup para lelaki tadi. Melainkan notifikasi dari postingan teman sosial medianya.
Sindy Rahayu
Jaga kesehatan, semangat terus, jangan lupa segalanya @mujibsubagja
#TODHalah, berlindung dibawah tameng hastag TOD!
Perempuan mah cuma pengen dingertiin, padahal mereka nol besar kalo tentang ngertiin lelaki!
Sudah hampir sepekan Sindy terbaring sakit. Hal itu membuatnya harus pulang dari asrama dan tidak dapat mengisi senyum di sekolah. Wajar bukan, jika Rama rasakan sakit hati? Di saat rasanya semesta menjauhkan mereka. Ditambah sang empunya hati justru seakan terlibat dalam mengusirnya perlahan. Dengan menulis kalimat-kalimat itu, membuatnya semakin bingung atas apa yang mesti ia lakukan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Griya
Romance"Tak usah terlihat peduli, jika griya ini hanya kau cari ketika sepi menghukummu sendiri" -Amanda "Ku takkan mengelak, sepi ini yang mengajariku tuk kembali lagi padamu" "Gausah percaya deng, canda" -Rama Griya berarti rumah. Kata yang tak asing buk...