10

26 4 0
                                    

Ketika semesta lagi-lagi tak berpihak, maka menerima kenyataan merupakan  satu-satunya bumi yang pantas kau pijak.

Ramai sekali. Entah ada berapa pasang kaki yang sekarang berlari kesana kemari. Tiap ditanya mau kemana, mereka jawab dengan mengerutkan dahi. Katanya hanya disuruh membuat kegaduhan, tanpa tahu tujuan.

"Man?"

Emangnya mereka enggak cape ya lari-lari terus?

"Manda?"

Aku yang cuma ngeliatin aja cape.

"Amanda?"

Aku yang lemah apa mereka yang terlalu semangat?

"ZIVA NADIAA!!"

"Eh, i-iya? A-ada apa?"

"Ada apa? Hah? Gimana? Ada apa ceunah?! Dari tadi aku nyerita panjang kali lebar jadi luas kali tinggi jadi volume, terus kamu nanya ada apa?!" jawab Nilam emosi.

"Oh i-iya ya? Tadi téh lagi nyerita-eum-oh nyerita keadaan kelas waktu Manda dispen, ya? Ja-jadi gimana?" belanya sambil menyeringai tanpa dosa.

"AAAARGHHH KESELL!! Panan tatadi udah diceritain. Ti kulon ka wétan, ti wétan ka kalér, ti kalér ka kidul, ti kidul ka kulon deui !!" (baca: dari barat sampai ke barat lagi).

"Ya-ya atuh maaf. Banyak orang lagi lari enggak jelas di kepalaku. Beres nemuin bu Santi pikiranku jadi enggak jelas gini. Enggak fokus." dalih Amanda.

"Kenapa gak kamu suruh diem dulu orang-orang di kepalamu itu? Jadi ceritaku bisa masuk dengan damai gitu lho mannn" jawab Nilam kesal.

"Enggak bisaaa~, enggak tau gimana cara berentiinnyaaa~."

"Yaudah gausah minta aku cerita sampe kamu tenang, lah. Percuma!"

"Ih jangan gitu atuh, aku bakal fokus kok kali ini."☹️ rengeknya.

Nilam menghela nafas.

"Sabar nilam sabarr, nemenin ngobrol orang yang banyak pikiran itu harus sabarr, gustii nu agunggg paparin abdi kakiatan." (baca: Ya Tuhan, beri aku kekuataan). Kata Nilam menenangkan dirinya sendiri sambil mengangkat kedua tangannya seperti seseorang yang berdoa minta hujan.

Amanda tersenyum kaku.

"Jadi gini," Nilam membuka cerita.

...

Langit selepas hujan tak pernah mampu menyembunyikan udara dingin yang sengaja dihantam awan semalaman. Dia selalu jadi yang paling apa adanya ketika keturunan Adam justru bangga memperlihatkan tipu daya yang mereka ciptakan.

Itulah mengapa langit hanya bisa mereka lihat dengan mendongakkan kepala. Isyarat bahwa hanya mereka yang menerima, bersyukur dan apa adanya-lah yang semakin tinggi tempatnya. Ilaharnya.

Pemilik telapak tangan dingin itu sedang merasakan damainya memandang langit pukul enam pagi. Ia biarkan fokusnya jatuh pada nares yang menyalurkan udara sejuk itu ke paru-paru. Memadamkan pendengaran sebentar. Dari suara mereka yang terdengar memohon untuk dipinjamkan buku. Toh, tugasnya sudah selesai, relaksasi sebelum pelajaran dimulai sepertinya ide yang brilian.

"Sin, udah tugasnya?" tanyanya sambil menghampiri Sindy yang duduk di kursi kayu di luar kelas menghadap ke lapang.

"Udah, ada apa?"

"Eum-an-anter aku ke Ceu Onih, yuk?"

Sindy membalikan badannya, menghadap perempuan yang meminta bantuannya.

GriyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang