6. Sebatas Teman

124 22 6
                                    


Aku cukup menahan rasa sakit demi melihat orang yang ku cintai bahagia. Bila kau bahagia aku kan ikut bahagia. Bila kau bersedih aku juga ikut bersedih. Maka usaplah air matamu ini untuk diriku yang hanya bisa mencintaimu dalam diam.

Bulan merasakan sesuatu telah menusuk-nusuk hatinya. Kini mata Bulan mulai panas, dalam dadanya pun sesak akan hal itu. "Kenapa harus Mentari, gadis yang ku cintai sejak kecil. Kenapa harus dia Tuhan?" Bulan hanya bisa menahan air matanya agar tidak jatuh membasahi pipinya. Bulan tersenyum ke arah Mentari yang telah menatapnya.

"Mentari" senyuman Bulan menghentikan tangisan Mentari.

"Mentari, aku tidak pandai berkata-kata tetapi ingatlah satu hal. Bila kau menyukai seseorang, kau tidak harus memaksakan orang itu untuk menyukaimu juga. Berikan dia waktu untuk berfikir dan dalam waktu itu kau pun juga harus berfikir. Tidak hanya mengunakan pemikiranmu saja tapi" Bulan menunjuk ke atas dada Mentari, "di sini, kau harus menggunakan hatimu juga. Jangan terlalu memaksakan yang bukan milikmu dan lepaskan kalau itu mungkin untuk mu."

Bulan tersenyum manis dengan menyipitkan matanya. "Jangan sedih Mentari, aku akan selalu ada untukmu."

"Terimakasih Bulan, kau memang sahabat ku yang terbaik" Mentari sembari meletakkan tangannya di atas pangkuan Bulan. Bulan kini menatap tangan Mentari itu.

"Hanya sahabat? Itu saja? Sebatas itu kah aku di hatimu Mentari?" Batin Bulan mendengar kata yang di lontarkan Mentari. Bulan mengangkat kepalanya, memandang tepat di hadapan wajah Mentari.

Bulan memegang tangan Mentari yang ada di atas pangkuannya. Ia tersenyum dengan menyipitkan matanya. "Hmm, jangan bersedih mentari. Tersenyumlah selalu untuk ku, karena bagiku senyuman mu itu seperti cahaya sang mentari. Jangan hilangkan cahaya itu karena hanya itulah yang bisa membuat dunia ku menjadi lebih indah Mentari."

Dengan cepat Mentari menarik tangannya. Ia tersipu malu dengan kata kata yang telah Bulan ucapkan barusan. Kini terlihat jelas di kedua pipinya yang mulai memerah. Mentari segera menundukkan pandangannya. "Andaikan Bintang seperti mu Bulan, aku akan sangat merasa senang. Tapi apalah dayaku, sikap Bintang sangat dingin kepadaku dan kurasa sangatlah sulit untuk meluluhkan dan mendapatkan hati batunya." Renung Mentari.

Dreeettt..... Dreeettt.... Dreeettt....

Getar Handphone di saku milik Bulan. Bulan segera mengambil Handphone nya itu, ia kini melihat ke layar Handphone nya dan tertuliskan nama "Mama". Bintang segera mengangkat Handphone nya itu.

"Halllooo..."

"Iya ma, sebentar lagi Bulan keluar"

"Iya, mama tunggu Bulan. Bulan segera kedepan sekarang."

Bulan mengakhiri panggilannya itu, ia mematikan Handphone nya dan memasukkannya lagi ke dalam saku celananya.

"Emmm, Mentari?"

"Iya Bulan" Mentari memutar sembilan puluh derajat menatap ke arah Bulan.

"Bulan pulang dulu yha, Bulan sudah di jemput mama Bulan. Mentari mau ikut bareng pulang?" Tanya Bulan.

"Ehhhh, tidak usah Bulan. Nanti biar Menteri memesan Taksi Online saja."

"Ya sudah," Bulan berdiri dari kursi taman yang ia duduki. "Bulan pulang duluan yha, nanti kalau kamu sudah pulang jangan lupa kabari Bulan. Nomor telepon Bulan tetep sama kok dan masih aktif."

"Iya, Bulan hati-hati ya. Salam buat Tante Silviana."

"Iya, nanti aku sampaikan. Aku pulang dulu." Bulan melambaikan tangannya dan kini mulai meninggalkan Mentari sendiri.

Bintang dan BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang